12 Jan 2019

Menemukan Ketulusan di Film “Preman Pensiun”


Medcom.id

Saya yakin anda sudah familiar, dengan sinetron berjudul Preman Pensiun. Sinetron yang ditayangkan RCTI tiga tahun silam, rupanya mendapat tempat di hati pemirsa televisi.
Saking bomingnya sinteron Preman Pensiun, dibuat sampai 3 session, tetap diproduksi MNC Pictures.

Bagi pecinta sinetron Preman Pensiun yang kangen, kini bisa menyaksikan kembali kisah para preman yang unik dalam versi layar lebar.
Ruh sinetron dan film Preman Pensiun, tetap ada di tangan Aris Nugraha, selaku Ide Cerita, Penulis Skenario sekaligus Sutradara.

Kalau mau jujur sih, saya sendiri (sebenarnya) bukan penikmat sinetron Preman Pensiun (sinetron yang lainnya juga sih, hehehe).
Tetapi sempat (beberapa kali) melihat iklannya, jadi tidak terlalu asing dan mengenal pemain yang terlibat di Preman Pensiun.

Demi mengobati rasa penasaran, sebelum datang ke Press Screening, saya melihat beberapa episode Preman Pensiun melalui youtube.

Kesan pertama menyaksikan, saya merasakan bahwa Preman Pensiun berbeda dengan Sinetron kebanyakan, pesan disampaikan dengan bahasa sederhana dan mudah diterima.

Sinopsis film Preman Pensiun:
Adalah Muslihat (diperankan Epi Kusnandar) menjadi penerus Kang Bahar (versi sinetron diperankan alm Didi Petet), mengajak anak buah bertobat sebagai preman.

Meski Kang Mus menyadari, bahwa untuk kembali ke kehidupan normal tidaklah mudah, diperlukan ketekunan dan kesabaran menjemput rejeki.

Maka para mantan preman satu persatu berbelok haluan, ada yang menjadi petugas keamanan, ada yang menjadi penjual kaos, peternak lele, penjual jaket kulit dan lain sebagainya.

Kang Mus sendiri, berganti-ganti bisnis karena bangkrut, saat ini berbisnis kecimpring (kerupuk yang dibuat dari singkong diparut) itupun sedang sepi, dan dibantu Ujang (diperankan M. Fajar Hidayatullah) sebagai asistant yang juga mantan preman.

Persaudaraan mantan preman tetap terjaga, tetap menjalin komunikasi,membantu mencari jalan keluar ketika salah satu kesulitan.

Penghormatan Kang Mus terhadap keluarga Kang Bahar tetap ditunjukkan,sesekali mengunjungi Kinanti (anak Kang Bahar)  yang belum menikah.

Siapa sangka, ditengah pertobatan dari dunia hitam, ada anggota mantan preman yang tidak tahan dengan ujian, ketika usahanya sedang sepi.

sumber thriller di SINI

-0O0-

Saya sangat menikmati jalan cerita Film Preman Pensiun, dikemas dengan alur yang sangat sederhana, mengalir dan mudah dicerna layaknya kehidupan keseharian.

Para pemain berakting cukup natural, karakter ditampilkan di layar saling mendukung, sehingga tidak ada gab  dan superioritas antar pemain.

Epi Kusnandar bermain cukup all out, saya bisa merasakan kewibawaannya sebagai pentolan preman meski sedang bertingkah kocak.

Saat sesi tanya jawab di presconf, seorang pengamat film menjagokan nama Epi, minimal masuk sebagai nominasi pemeran pria terbaik Festival Film Indonesia.

Tak berlebihan, jika Aris Nugraha berharap, film besutannya Preman Pensiun tidak sekedar menjadi tontonan, tapi juga bisa menjadi tuntunan masyarakat.

Konon efek dari sinetron pernah terjadi, yaitu seorang preman (di kehidupan nyata) bertobat setelah menyaksikan cerita sinetron Preman Pensiun.

Press Conf dengan Crew and Cast -dokpri
Atmosfir kota Bandung ditampilkan juga sangat terasa, baik dari musiknya, gesture dan logat sunda, struktur dan garis wajah pemain serta lokasi yang menjadi ikon kota kembang yang dikenal masyarakat. “Kami mencoba menjaga kekhasan sinetron dalam packaging film,” jelas Aris.

Ada yang unik dari film bergenre komedi ini, bahwa skenario baru ditulis 14 hari sebelum shooting di mulai pada bulan April 2018.
Dan menghabiskan waktu shooting selama 21 hari, sedangkan untuk skenario akhir film, baru selesai H-2 sebelum shooting selesai.

Ada yang mengganjal di benak saya, adalah tehnik dialog yang dipenggal kemudian digabung dengan adegan berbeda, namun dialognya terkesan nyambung.

Pada satu sisi, bisa menjadi satu kekuatan dan keunikan (pasti Sutradaranya bekerja keras untuk ini), pada sisi lain membuat ada adegan yang menggantung.

Namun pada akhirnya, saya berusaha menoleransi diri, tidak terlalu memikirkan kelanjutan scene yang digantung tersebut.
Saya bisa mengambil kesimpulan sendiri ending scene terpotong, meski bisa jadi persepsi penonton di krusi sebelah saya juga berbeda.
Epi Kusnandar saat press conf -dokpri

Sebagai sebuah hiburan, Preman Pensiun berhasil mengajak penonton (secara tidak sadar) menertawakan diri sendiri.
Saya bisa tertawa lepas, melihat tingkah kocak Murad dan Pipit, kemudian keseganan Ujang pada Kang Mus ketika ditawari ngopi.

Ada juga scene yang membuat saya terenyuh, ketika kang Mus datang ke rumah Kang Bahar, kemudian duduk di kursi yang biasa diduduki kalau menghadap Papi.
Pada bagian ini,  kualitas keaktoran seorang Epi Kusnandar saya akui, berhasil membawa saya turut hanyut dalam perasaan yang ada dalam adegan tersebut.

Pada ujung cerita saya menyimpulkan, bahwa film ini dibuat dengan ketulusan, sebagai penonton saya merasakan ketulusan tersebut.

Di Preman Pensiun,  tdak ada pemain yang dicitrakan paling gagah,  paling ganteng,  paling sempurna (seperti yang ada di film kebanyakan) .

Bahkan kang Mus si pemersn utama, ditampilkan tidak jaim layaknya, yang ileran, mencium bau keteknya sendiri.
So pesa. kesederhanaan,  dan (sekali lagi)  ketulusannya bisa saya tangkap dan rasakan.

Dan bagi kalian yang ingin menikmati film yang berbeda, tunggu Preman Pensiun di bioskop di tanah air pada 17 Januari 2019.

Preman Pensiun
Sutradara : Aris Nugraha
Skenario dan Ide Cerita ; Aris Nugraha
Produser Eksekutif : Toha Esa, Didi Ardiansyah, Ferry Ardiyan, Deborah Debby Wage
Produser : Mifta S Yahya, Regi Djundjunan
Produser Kreatif : Lukman Sardi
Cast : Eppi Kusnandar, Tya, Ica Niaga, Deny Firdaus, Dedi Moch Jamasari, Isye Sumarni, Soraya Rasyid, Andra Manihot, M Fajar Hidayatullah.
koleksi pribadi

2 komentar:

  1. Alhamdulillah kang Pipit dalam film preman pensiun hijrah ke jalan yang lurus dan benar. Semoga terus Istiqomah

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA