11 Jan 2019

Kapan Sebuah Ucapan Menjelma Nyata ?

Illustrasi - dokpri

Seseorang dalam menjalani hidupnya (misalnya sudah 40 tahun), saya yakin tidak semua kisah bisa direkam dengan kuat di benak yang bersangkutan.

Saya berani jamin, kebanyakan kita tidak bisa mengingat dengan detil, semasa SD berapa kali jajan dan makanan apa saja sudah dibeli.

Kalau jaman masih SD terlalu lama, sekarang kita geser waktunya, mulai dari anda memutuskan untuk merantau (misal usia 18- 19).
Saya yakin anda kesulitan mengingat jumlah dengan persis, (bagi yang merantau di Jakarta) berapa kali melewati jalan protokol ibukota.

Oke kalau masih kesulitan, sekarang digeser lagi dimulai daei anda menikah dan punya anak (misalnya umur 28 – 30)
Berapa banyak susu atau diapers dibeli, kemudian berapa kali anak pipis dan menangis karena diapersnya penuh.

Masih kesulitan juga, dipadatkan menjadi sebulan terakhir berapa kali memanggil anak.
Mau dipendekkan lagi waktunya, dalam seminggu terakhir siapa saja sudah kita ajak ngobrol.

Kejadian yang biasa saja, cenderung susah diingat. Sebuah peristiwa apabila kerap dilakukan berulang-ulang, kesan yang tertanam kurang kuat menancap.

Coba kalau pertanyaan saya ubah, apa anda masih ingat kenakalan masa kecil yang membuat orang tua kita marah besar.

Saya yakin anda sangat ingat, kali pertama bertemu calon istri/suami, dan bagaimana mencari cara berkenalan kemudian strategi mengambil hati calon mertua.

Anda juga pasti tidak lupa, bagaimana sakitnya ditolak cinta oleh orang yang ditaksir, bagaimana paniknya kecopetan dompet atau kesalnya menagih utang.

Pada saat-saat tertentu, ketika ada peristiwa melibatkan emosi di dalamnya, maka pada detik kejadian tersebut, cenderung melekat di sanubari.


Hati-hati Berucap Saat Emosi


Tersebut kisah, tentang masa kecil Syeih Abdurahman As Sudais, beliau adalah imam besar Masjidil Haram di Mekkah.

Ketika itu, orang tuanya bersiap-siap hendak kedatangan tamu kehormatan. Sang ibunda memasak kambing, demi menyambut tamu istimewa.

Ketika hidangan sudah siap disajikan, Sudais kecil yang asyik bermain, tiba-tiba masuk ke rumah, berpindah (main) di sekitar meja tempat hidangan ditata rapi.

Alangkah kagetnya sang ibu, ketika melihat ulah Sudais kecil, telah menaburkan pasir ke dalam hidangan kambing yang disiapkan untuk tamu.

Sambil menahan amarah, ibu tadi berujar dengan geram “Awas ya, nanti kalau kamu sudah besar, akan menjadi Imam MASJIDIL HARAM !”

-0O0-
Illustrasi - dokpri

Kebiasaan saya dan istri setiap pagi, adalah ngobrol sambil ngeteh atau ngopi membahas topik apa saja yang terlintas di benak.

Entahlah apa musababnya, pagi itu istri membagi cerita, didapat dari ustad yang mengisi kajian di masjid tempatnya mengaji seminggu sekali.

Ada seorang jamaah berkisah (kemudian dikisahkan ulang oleh ustad), bahwa dia berasal dari keluarga biasa. Sampai kuliah, prestasi dicapai dengan nilai rata-rata.

Anak muda dari keluarga bersahaja, menyelesaikan kuliah tepat waktu, menjadi anak pertama yang memakai toga hitam di keluarga ini.

Ketika upacara wisuda tengah dilangsungkan, si anak muda berjalan di panggung untuk mengambil ijazah sembari benang di atas topi dipindahkan posisinya.

Melihat prosesi luar biasa dan baru sekali dalam hidupnya, bola mata sang ibu berkaca-kaca, dadanya meletup penuh kebanggan.

Setelah acara wisuda selesai, anak kesayangan menghampiri kedua orang tua, kemudian mencium punggung tangan sang ibu.

Sambil menahan isak tangis (karena haru), si ibu berucap dengan suara bergetar “suatu saat gantian kamu yang berdiri di sana, memindah benang di topi mahasiswa”

Anak yang dulu mencium pungung tangan ibu, Sekarang menjadi rektor perguruan tinggi swasta di Surabaya. Rektor rendah hati itu, adalah jamaah yang menceritakan kisahnya kepada saya,” ujar ustad.

dokpri

-O0O-

Kejadian yang melibatkan dinamika emosi di dalamnya, akan diingat sampai kapanpun, termasuk ucapan berlaku demikian.

Ketika dalam sebuah ucapan, terkandung getaran kemarahan, keharuan, kekesalan dan sebagainya, (mungkin) bisa menjadi penyebab ucapan tersebut mengandung tuah.

Nah, bagi anda para orang tua (terlebih seorang ibu), jangan mudah menghamburkan kalimat negatif ketika sedang marah kepada anak (atau siapapun).

“IiiiiiH, anak kok pintar sekali, mama bangga dengan kamu nak,” “Ya Alllloh, anakku yang SOLEEEEEH, nanti kalau kuliah bisa dapat beasiswa ke luar negeri.”

Coba kalau setiap letupan emosi, energi kemarahan diganti dengan kata-kata baik. Kita dan orang yang dimarahi, akan terdampak kebaikan. 

Mungkin perasaan jengkel atau haru tidak hilang seketika, tapi setidaknya kondisi saat emosi bergolak disertakan doa di dalamnya. -Semoga Bermanfaat-  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA