28 Jan 2019

'Tepo Tahu' Kuliner Kampung Selalu Ngangenin


penjual tepo tahu - koleksi pribadi


Duapuluh lima tahun lebih hidup di tanah seberang, ada alasan yang membuat hati saya terpaut dengan kampung halaman.
Pasalnya setelah singgah di beberapa kota perantauan, saya belum pernah menemukan kuliner sejenis atau yang mirip.

Makanan ini cukup unik, meskipun bahan-bahannya sederhana, sangat mudah dibeli di pasar serta pengolahanya tidak sulit.
Tujuh belas tahun tinggal di seputaran Ibukota, saya belum pernah menemui, atau jangan- jangan hanya di desa saya makanan ini diolah.

Adalah tepo tahu, nama makanan khas Magetan. Sejak duduk di taman kanak-kanak, saya kerap membeli ke penjual langganan.
Sampai pulang kampung sebulan lalu, saya sempat membeli dan penjualnya ada cucu dari generasi perintisnya.

Penjual tepo tahu adalah (dari dulu sampai sekarang) turun temurun, konon resep bumbu rahasia diwariskan secara alami.
Saat anak penjual tepo tahu beranjak remaja, mulai diajak terllibat saat si ibu berjualan pada malam atau siang di hari pasaran (Pon dan Kliwon mereka jualan).

Mula-mula sang anak membantu pekerjaan pendukung, seperti mencuci piring, mengantar pesanan pelanggan, melayani pembeli yang pesan untuk dibungkus.
Proses pembelajaranpun dimulai, anak mulai diajar meracik bahan, menakar bumbu dengan porsi yang pas dan seterusnya.

Bukankah cara efektif mentransfer ilmu, adalah melalui contoh dan praktek secara langsung di lapangan.
Seiring perjalanan melihat dan praktek, niscaya si anak semakin mahir tehnik menguleg dan insting padu padan bumbu akan terbentuk.

Kala sudah sampai ilmu bumbu (kunci makanan) diestafetkan, pertanda generasi pendahulu siap rehat dan mengambil pensiun.
Kelanjutan angkringan tepu tahu tidak terlalu dikhawatirkan, mengingat pola memasak dan keahlian yang sama sudah di tangan penerusnya.

-00o00-
penampakan tepo tahu - koleksi pribadi

Tepo tahu, makanan murah meriah tetapi melekat di hati. Keberadaannya, tidak bisa dilepaskan dari masa lalu saya.
Setiap pulang kampung, selalu saya sempatkan menikmati makanan khas menjadi klangenan ati.

Penjualnya menggelar dagangan (dengan gerobak duduk), di emperan toko di samping pintu masuk pasar.
Selepas sholat maghrib dijalankan, penjual sudah siap menunggu pembeli, baik untuk dibungkus atau di makan ditempat.

Tepo atau lebih populer dengan sebutan lontong, di desa saya dimasak dengan kayu bakar di atas pawon (tungku).
Tampilan tepo (dari saya TK sampai sekarang) tidak berubah, dimasak berbalut daun pisang kemudian dibentuk piramida tambun.

Pada saat hari lebaran tiba, Ibu saya bela-belain masak tepo sendiri, untuk menyambut anak cucu yang pulang kampung.
Mula- mula beras dicuci dibungkus daun pisang, kemudian diirebus dengan kuali (semacam panci dari tanah) dari malam.

Proses memasak tepo cukup panjang, kestabililan api musti dijaga, agar tidak terlalu besar atau kekecilan.
Sumber panas dari kayu bakar si atur sedemikian rupa, kayu didorong ke dalam ketika api mulai keluar lubang tungku.

Setelah tepo matang, tidak langsung diangkat dari kuali, dan si kuali juga dibiarkan nongkrong diatas mulut tungku.
konon, bara yang masih tersimpan di kayu, akan membuat tepo yang sudah matang menjadi semakin tanak.

Aroma dan citarasa tepo terasa khas, karena zat hijau daun (klorofil) pisang menempel di bagian pinggir tepo.
Apalagi kalau makan saat tepo masih hangat, bau harum dari daun pisang yang sudah matang berasa harum.

Cara menyajikan sangat simpel, tepo masih utuh diiris setengah, kemudian diiris lagi menjadi tiga atau empat dipotong kecil (sesuai selera).
Kemudian ditaburkan bumbu serbuk khusus, diatasnya ditimpa gorengan tahu dan tempe diiris dadu.

Selanjutnya disiram air bawang dan bumbu, disiram lagi kecap kental manis, sebagai penutup ditaburi bawang goreng, boleh ditambah telor ceplok (optional).
Harga juga tidak mahal, sebulan lalu membeli seporsi tepo tahu lengkap dibandrol di harga tujuh ribu (kalau yang langganan hanay enam ribu).

Penjual tepo sekarang, adalah sepantaran dengan seusia saya, yaitu istri dari adik kelas saya semasa sekolah dasar.
Sekarang terhitung sudah generasi ketiga, dulu sewaktu saya masih SD, kalau membeli tepo tahu dilayani neneknya.

Membeli dan menikmati seporsi tepo tahu, kemudian duduk diangkringannya, bagi saya adalah nostalgia.
Sambil menunggu si penjual menyiapkan pesanan, kami berbagi cerita (karena saling kenal) tentang pengalaman dijalani.

Nanti pada saat balik ke kota, rasa kangen makanan khas desa bertumbuh, memanggil pulang kembali di masa mendatang.

2 komentar:

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA