31 Agu 2022

Bakti pada Orangtua Seharusnya Tiada Syarat

 

Berteman dan berinteraksi dengan pengelola Panti Lansia, membawa saya pada banyak kisah pilu penghuninya. Cerita prihatin memantik haru, ada dibalik sampainya para lansia di tempat ini.

Ada ibu yang sengaja “dibuang”, kemudian oleh dinsos ditemukan dipinggir jalan TOL. Ada lansia datang saat hari mulai petang, diantar anak muda dengan menggunakan motor.  Pengantar mengaku menemukan di pinggir jalan, pamit sebentar untuk membeli suatu barang.

Si ibu yang mulai pikun, tak kunjung masuk panti menunggu di anak muda yang tak kunjung datang. Setelah ditanya petugas, ibu sepuh mengaku bahwa si pengatar adalah anak kandungnya.Sekian bulan berselang, anak muda datang mengakui kesalahan.

Pepatah nasi sudah menjadi bubur terjadi, ibu lansia sudah berpulang ke alam baqa. Entah seberapa besar rasa sesal, janji menengok makam rupanya sekedar janji. Sampai tahun berganti, pengurus panti tak lagi menemui anak tak tahu diri.

Ada yang datang secara resmi, lansia diantar dan dititipkan keluarganya. Dibayarkan iuran bulanan, namun di anak bersikukuh tak ingin membawa pulang. Rupanya ada luka kadung menganga, sedalam jarak antara anak dan orangtua.

Berapapun iurannya saya bayar, asal tidak satu rumah dengan dia,” tegas si anak berapi-api.

Ada penghuni yang samar asal usulnya, datang atas rekomendasi dinas sosial. Pihak dinas menitip sejumlah dana, dengan besaran yang tidak seberapa. Selebihnya pengelola panti, yang musti memutar otak menambali kebutuhan harian.

Kalau saya ceritakan ulang satu persatu, tentu sangat menyesakkan dada. Saya masih ingat kalimat pengurus panti, tidak mungkin kalau tidak ada masalah lansia tinggal di panti. “Logikanya, kalau keadaan baik-baik saja, mereka tidak bakalan ada di sini pak”.

Bakti pada Orangtua Seharusnya Tiada Syarat

Kalau teman-teman googling nama Aditya Prayoga, akan bermunculan artikel tentang kebaikan. Beliau adalah penggagas rumah makan gratis, ayah muda asal Palembang yang sebegitu indahnya bertransaksi dengan semesta.

Di situasi ekonomi yang memprihatinkan, Adit merawat mertua yang sakit di rumah kontrakan. Sedangkan barang dagangannya (murotal Quran), kadang ramai dan tak jarang sepi pembeli. Di sebuah podcast saya menyimak penuturannya, sangat menyentuh membawa ke permenungan.

Suatu pagi yang gerimis, selepas subuh sepulang dari masjid. Beberapa langkah didepannya ada seorang nenek pemulung, yang jalannya pincang. Terbetik rasa iba si nenek dibawa ke kontrakan, dan dichek kaki luka berlubang sampai ada belatung.


Adit dan istri bersepakat, akan menanggung makan sehari-hari, agar nenek tersebut tak usah memulung. Bermula dari nenek inilah, kebiasaan berbagi melebar ditujukan untuk pemulung di sekitar kontrakan.

Seiring berjalannya waktu, rumah makan gratis berkembang, ada lima cabang di Jabodetabek.  Soal bakti saya tidak meragukan, Aditya merawat orangtua (kandung/mertua) meski dalam keterbatasan. Kini ayah satu anak ini, mengaku masih berjualan murotal.

------

Saya  sangat meyakini konsep, bahwa setiap orang di dunia ini diibaratkan sedang bertransaksi dengan kehidupan. Bahwa apa yang didapat sepadan dengan diperbuat, sunatullah sebab akibat berlaku dengan nyata.

Dalam proses transaksi dengan kehidupan, tak seorangpun dirugikan. Akan mendapatkan apa yang menjadi haknya, tak dikurangi sedikitpun. Takaran perolehan tak kasat mata, tetapi Sang Khalik sangat berperan dalam kemaha adilannya.

Bakti pada orangtua idealnya tak bersyarat, persis seperti orangtua menyayangi anak-anak. Memang kondisi tidak ideal kerap menyertai, sehingga anak tak leluasa menunjukkan bakti. Tetapi berkaca dari Adtya, sungguh bisa menjadi hikmah bagi kita semua.

Kalau dalam kondisi terbatas anak menunjukan bakti, apalagi saat kondisi lapang. Karena kesungguhan bakti, justru teruji ketika anak dalam keadaan tidak kesempitan. Dalam keadaan terjepit kualitas bakti moncer, akan mengantarkan keajaiban yang tak disangka-sangka.

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA