1 Jun 2020

Kisah Seribu Perak dalam Sepotong Roti


Kebiasaan pagi saya (di hari normal), adalah mengantar anak ke sekolah. Dan ada bekal sekolah tak boleh terlupa, (selain makn siang) adalah roti buat camilan saat jam istirahat.

Tak jauh dari tempat kami tinggal, ada rumah yang dikontrak oleh produsen roti terkenal. Khusus pembeli sekitar perumahan, mendapat potongan sebesar 500 – 1000.


Jumlah potongan harga, sebenarnya tidak terlalu besar. Tetapi psikologis konsumen, kalau sudah mendengar discount pasti berbunga-bunga.

Pagi itu saya membeli  2 roti harga bandrol 3000, satu roti mendapat potongan 500 total dibayar adalah 5000 rupiah.

Pagi itu, penjual yang bisa melayani sedang sibuk. Maka ada orang lain melayani, dan tiba-tiba menyatakan bahwa harga tidak dipotong (alias tetap 6000).

Sebagai konsumen saya protes, apalagi sudah terbiasa membeli dan mendapat potongan harga.

Sang penjual (orang di hadapan), mempertahankan pendirian dengan tekanan suara yang meyakinkan bahwa harga berlaku memang tigaribu.

Saya mulai tersudut, sembari berusaha memanggil bapak yang biasa melayani segara datang.  Situasi seperti menggantung, ketika orang yang saya maksud datang dan tidak berusaha menetralisir suasana.


Karena tak mau berpanjang debat, dan keburu terlambat mengantar anak. Maka saya mengalah, dan membeli roti dengan harga normal (tigaribu).
Selisih seribu rupiah, sebenarnya nilai kecil untuk sebuah transaksi. Untuk membayar parkir atau permen, rasanya tak pantar uang seribu.

Tetapi persoalan pagi itu, bagi saya bukan sekedar nilai uang. Adalah perjanjian tidak tertulis, yang telah berlangsung panjang dan tiba-tiba dipatahkan sepihak.
Sejak peristiwa uang seribu itu, saya tidak pernah datang dan membeli roti di dekat rumah ini. Tak sampai setahin, usaha jual beli roti juga tutup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA