25 Des 2023

Tugas Ayah adalah Menjadi Semestinya Ayah


Artikel ini sudah ditayangkan di Kompasiana dengan penulis yang sama 

Layaknya keluarga desa, yang hidup di medio tahun 80- 90-an. Hubungan orangtua dengan anak, tidaklah se-ekspresif dan atau secair sekarang.  

Seingat saya, seumur-umur belum pernah mengucapkan “I Love You”, “Aku sayang ayah/ibu”, “Selamat Ulang Tahun”, “Happy Aniversary”, atau kalimat sejenisnya pada orangtua. Rasanya kagok, kaku, aneh, dan tidak bisa lepas mengucapkannya. Yang ada, diketawain –hehehe.

Eit’s, meski demikian, soal rasa hormat, taat, patuh, anak pada orangtua tidaklah diragukan.  Kami para anak di masa itu, seperti ada kesepakatan tidak terlulis. Soal bersikap, berucap, pun membawa diri di hadapan orangtua (terutama ayah).

Saya (kemudian saya ketahui teman- teman bersikap sama) kepada ayah, tidak berani bertatap muka dan pandangan saat ngobrol. Lebih banyak menunduk, hanya sesekali atau sekelebatan saja melihat wajah ayah. 

Sementara kepada ibu hubungan lebih cair, kami bisa cerita apapun dan terbuka segala masalah. Ibu adalah orang pertama, mendengarkan cerita saya. Mulai cerita remeh temeh, sampai yang serius. Mulai cerita keseharian di sekolah, sampai rencana mendaftar kuliah.

Ibu perpanjangan omongan kami ke ayah, soal keuangan ayah penanggung jawabnya. Beliau pencari nafkah, sandaran seluruh anggota keluarga. Meski jarang ngobrol, kami sangat hormat dan menyayangi ayah.

Ayah guru SD, dengan penghasilan tak seberapa. Bagi saya, beliau telah berhasil menunaikan tugasnya. Tugas ayah, menjadi semestinya ayah.

-----

Meski bukan keluarga priyayi, ibu mewajibkan anak-anaknya bahasa jawa halus – kromo inggil-- pada orangtua atau orang yang lebih tua. Aturan ini berlaku saklek, ibu taki memberi ruang tawar menawar. Pernah saya melanggar, selain dimarahi tidak boleh makan siang.

Kromo inggil, menjadi simbol penghormatan. Yang di kemudian hari, saya mengamini hasil didikan ibu. Di acara keluarga besar, saya saangat nyaman berbahasa jawa halus, terutama kepada pakde bude ataupun pini sepuh.

Meski boso kromo inggil yang tertata rapi, lumayan jarang disampaikan ke ayah. Saking jarangnya komunikasi, karena tidak terlalu dekat.

Tugas Ayah adalah Menjadi Semestinya Ayah

 


Membaca kabar viral di medsos, kadang membuat saya miris. Seorang ayah, tega menghabisi empat anaknya. Ayah yang mengajak bunuh diri istri dan satu anak, satu anak selamat tinggal bareng nenek.

Entahlah, saya merasa ada yang salah, meski saya tidak hendak menghakimi. Tetapi ada tugas keayahan, yang mungkin kurang tepat saat penerapan. Mungkin karena kurangnya ilmu, atau tidak sadar pentingnya belajar.

Dan yang pasti, pelaku tidak di posisi ayah semestinya. Ayah yang melindungi istri dan anak-anak, ayah yang menjamin keamanan dan kenyamanan anggota keluarga.

----

Saya ayah, yang masih terus belajar. Terutama dari almarhum ayah, baik hubungan dengan ibu atau kami anak-anaknya. Ada yang unik, dari hubungan saya dengan ayah. Meski semasa kecil jarang ngobrol, tapi saya tidak benci justru hormat. Meski nyaris tak pernah bercanda berdua, tetapi jurang pemisah sama sekali tidak ada.

Karena dalam diam ayah, tidak terkandung marah atau hal yang menyakitkan terjadi. Meskipun jarang ngobrol, tetapi tidak ada penelantaran dari ayah atas kami. Sehingga kami anak-anak, tetap tumbuh dan bahagia dengan sewajarya.

Banyak hal-hal baik saya ada pada ayah, baru saya sadari setelah dewasa.  Dan, syah telah menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, yaitu menjadi semestinya ayah.

----

Ayah berpulang, satu tahun setelah saya bungsunya menikah. Sempat sekali bertemu dan menggendong, cucu pertama dari saya. Kalau merindukan ayah, saya merunut kejadian masa kecil tentang beliau.

Ayah, guru SD dengan penghasilan tak seberapa. Sangat lekat dengan kesederhanaan,  jauh dari sifat foya-foya bermegah-megahan. Gaji bulanan diserahkan semua pada istri, sepulang mengajar membantu menggarap sawah mertua (kakek saya dari garis ibu).

Sungguh banyak alasan, yang membuat saya mengidolakan ayah. Setelah menyadari, bahwa yang dilakukannya dulu bukti tanggung jawab yang besar.

Ayah rela menempuh pematang sawah, jalan kaki menuju desa tetangga (tempat mengajar). Hal yang dilakukan bertahun-tahun, karena motor tua satu-satunya dipakai sulungnya kuliah.  Ayah sengaja tidak makan di acara rapat sekolah, satu kotak snack bagiannya, dibawa pulang untuk saya. Ayah rela menahan keinginan, demi membelikan tas sekolah anaknya.

Dengan kondisi keuangan terbatas, ayah (dan ibu tentunya) sebisanya menunaikan tanggung jawabnya. Menyekolahkan anak-anak, hingga lulus perguruan tinggi. Meskipun untuk hal besar itu keduanya pontang-panting mencari utang.

Menjadi semestinya ayah, adalah menjadi ayah yang menjalankan tanggung jawab. Menunaikan tugas menafkahi keluarga, melindungi istri dan anak-anak, mendidik dan mengantarkan anak-anak hingga mandiri.

Setiap ayah, akan dimampukan menunaikan tugasnya. Asal dibarengi kesungguhan, terus menguatkan niat yang tulus ikhlas. Ayah musti menyediakan diri, melewati semua proses seberat dan seribet apapun itu.  

Meyakini bahwa luar biasanya tugas keayahan, sejatinya menjadi jalan menuju mulia. Dan algoritma kehidupan akan berpihak, pada orang yang bersungguh-sungguh. Bahwa untuk setiap niat baik ayah, pasti akan terbukakan jalan. Melalui pintu tak terduga, melalui kesempatan yang datang tiba-tiba.

Ayah yang baik dan bertanggung jawab, adalah yang menunaikan tugas ayah. Yaitu menjadi semestinya ayah. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA