4 Jan 2024

Mencintai Keluarga Berarti Mencintai Diri Sendiri

Bahagia itu istimewa, tidak terlalu kaku dan terpaku pada satu keadaan tertentu. Kebahagiaan itu sederhana, bisa datang pada tak melihat kasta. Kebahagiaan itu nyata, tak segan bersemayam di hati siapa saja.

Kebahagiaan suami semestinya tumbuh, ketika mendapati istri nyaman dengan kerelaan melewati segala cuaca kehidupan bersama.  Kebahagiaan seorang ayah seharusnya tiba, melihat keceriaan ada di wajah anak-anak, melalui kebersamaan yang dicipta.

Kebahagiaan tidak selalu identik, dengan kepemilikan bendawi atau pencapaian prestasi.  Pada saat sedang tidak berpunya sekalipun, bukan alasan sebuah kebahagiaan menjauh dan enggan datang mendekat.

-00o00-  

Saya ingat, kejadian jelang pergantian tahun 2018. Kami keluarga kecil pulang kampung,  bulek (adik dari garis ibu) punya hajatan menikahkan ragilnya. Perjalanan kami rencanakan jauh hari, karena harus berhitung biaya tiket dan segala keperluan.

Sebenarnya, bisa saja saya pulang sendiri (tanpa anak istri), tapi dengan beberapa pertimbangan ahirnya kami pulang berempat. Kebetulan anak mbarep libur pondok, pasti butuh refreshing sekaligus penghiburan agar tidak jenuh liburan di rumah saja.

Demi penghematan saya berburu ticket kereta,  sembilan puluh hari (dihitung mundur) sebelum hari keberangkatan. Strategi yang manjur, kemi mendapat seat harga promo.

Meski demikian ada sesi jalan-jalan, setidaknya lokasi wisata terdekat. Mumpung kumpul keluarga besar, jarang-jarang bisa jalan-jalan bareng.

Perjalanan dimulai—Suasana stasiun kereta Pasar Senen,  riuh rendah penumpang. Saya menyelesaikan urusan keberangkatan, sebelum sampai di peron. Keceriaan anak-anak tidak bisa disembunyikan, cukup antusias sejak persiapan di rumah.  Tas ransel di punggung anak-anak, mereka berlaku bak petualang.

Keseruan berlanjut di sepanjang perjalanan di gerbong kereta, bermain tebak-tebakan, kakak menggoda adik, tertawa bersama dan pulas karena kecapekan.

Menikmati pemandangan, melewati petak demi petak sawah, melihat pohon satu berkejaran dengan pohon yang lain. Membuka bekal, menikmati menu dibeli dari warung padang, membuat perjalanan semakin semarak.

Semangat anak-anak berbaur  sukacita, membumbungkan perasaan riang tak terbilang kata. Kemana lagi bahagia si ayah hendak dicari, semua sudah tersaji di depan mata.

Sebelum adzan subuh, kami beranak pinak sampai di kampung halaman.  Anak-anak dan istri berbaur sanak kerabat, setelah sekian waktu tidak berjumpa. Berfoto bersama dengan mempelai, menyerahkan kado terbungkus cantik, yang sudah kami siapkan sekian bulan lalu.

Keesokan harinya kami ke tempat wisata terdekat, di kaki gunung lawu. Biaya piknik dibicarakan ditanggung bersama, agar tidak ada ganjelan sesama saudara. Canda tawa cermin kebahagiaan, meski hanya piknik tipis tipis.

Melihat istri dan anak-anak tertawa lepas, saya tak kalah bahagianya. Seorang pecinta, rela memasang badan bagi pecintanya. Rela berkorban tanpa berhitung untung rugi, tehadap persembahan bagi orang dikasihi,

Muasal bahagia abstrak, bisa diupayakan dengan menyertakan hati. Para ayah yang mencintai keluarga, sejatinya telah mencintai diri sendiri – semoga bermanfaat-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA