9 Feb 2022

Edukasi Sadar Gizi Melalui Media Dongeng

 
Generasi 90-an, Saya yakin cukup familiar dengan nama Kak Ria Enes dan Suzan. Penyanyi genre lagu anak-anak, (beberapa diantaranya) liriknya dihapal bahkan sampai anak-anak sekarang. Seandainya lagu tidak dinyanyikan dengan karakter boneka, mungkin tidak terkenal dan pesan tidak diingat.

Media yang sama digunakan Kak Agung dari Kampung dongeng, bersama ‘Mas Jacko’ menyampaikan pesan tentang gizi.  Saya sangat terhibur saat melihatnya di acara Kopdar YAICIX Kampung Dongeng, alhasil pesannya sangat mudah diingat.

Terbersit di benak, betapa manusia diciptakan sedemikian sempurna. Tuhan membekali kemampuan kepada setiap orang, untuk disebarkan bagi kemanfaatan orang banyak.  Termasuk melalui kebisaan mendongeng, banyak pesan kebaikan bisa disampaikan.

----  

YAICI , Yayasan Abipraya Insan Cendekia Indonesia, adalah lembaga non profit yang bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Tahun 2017 mendapat kabar bahwa ada anak di Sulawesi meninggal, akibat kelebihan mengonsumsi kental manis.  

Salah kaprah pandangan kental manis adalah susu, terjadi di tengah masyarakat. Saya yakin juga terjadi di sebagian besar kita yang berpendidikan, diakibatkan iklan yang gencar di berbagai media.  Saya masih ingat saat masih SD, nyaris setiap pagi minum kental manis. Ibu sengaja membeli kental manis cokelat, konon diyakininya mengandung gizi yang tinggi.

Padahal hal tersebut tidak benar, faktanya Kental manis mengandung 40- 50% gula. Konsumsi gula berlebih, dalam jangka panjang berdampak tidak baik.  Contoh paling dekat dan akrab,  gigi berlubang karena kebanyakan permen (mengandung gula).

Mengonsumsi gula berlebihan, di kemudian hari mengakibatkan komplikasi. Yang paling lazim adalah terkena diabetes, terkena serangan jantung, stroke dan penyakit tidak menular lainnya.

Ketidaktahuan (kental manis bukan susu) ini memang tidak berdiri sendiri, selain iklan adalah (salah satunya) minimnya literasi. Menurut Kang Maman Suherman, selaku penggiat literasi, bahwa malas membaca membuat pandangan salah tentang kental manis terus berlanjut.

Contohnya tidak usah jauh-jauh, adalah diri kita sendiri. Kita yang kalau membeli barang kemasan, sangat jarang membaca label yang ada di kemasannya.

Saya termasuk kelompok enggan membaca, dengan beberapa alasan. Diantaranya fonts dan ukuran tulisan di labal sangat kecil, meski alasan ini tidak bisa dijadikan pembenaran. So, setelah ini, mari kita semakin rajin membaca label di kemasan produk.

 Edukasi Sadar Gizi Melalui Media Dongeng

 


Saya sangat terhibur dan teredukasi dengan pendongeng, yang menyampaikan pesan tentang gizi dengan gaya masing-masing. Ada yang membahas gigi berlubang, ada yang menceritakan mimpi berpetualang di planet SKM, dan disampaikan secara interaktif.

Menurut dokter Meita Rahmawati, bahwa eduksi musti dimulai dari dini terutama kepada remaja putri. Karena remaja putri adalah calon ibu, yang kelak akan melahirkan generasi masa depan. Pengetahuan kental manis bukan susu musti ditanamkan, sehingga remaja putri sadar tentang angka kecukupan gizi.

Secara jelas dokter Meita menyatakan, bahwa tidak ada larangan mengonsumsi kental manis. Tetapi takarannya jangan berlebihan, dan kental manis fungsinya adalah sebagai toping. Jadi sebagai pelengkap saja, tetapi bukan komponen yang utama.

----

Arief Hidayat selaku Ketua Umum YAICI,  menyampaikan, bahwa edukasi gizi dulunya menyasar untuk kader ibu.  Seiring berjalannya waktu mulai bergeser, yaitu menyasar kaum millenial terutama remaja putri.  Dan kini menggaet kelompok pendongeng (melalui Kampung Dongeng), agar pesan gizi tersampaikan pada anak-anak. Sehingga kesadaran gizi, didapatkan dari generasi pra remaja.

Kak Awan Prakoso dari kampung Dongeng, merasa sangat senang menyambut kolaborasi dengan YAICI. Dan source tentang gizi, sangat menarik untuk dijadikan ilustrasi dalam mendongeng. Selaras dengan disampaikan Kang Maman, maka pendongeng juga dituntut meningkatkan literasi.

Soal edukasi gizi, menjadi tanggung jawab kita semua. Mengingat prevalensi stunting anak di Indonesia, di angka 24, 4 % di tahun 2021, belum soal obesitas dan gizi buruk. Kita musti bergandeng tangan, untuk menyiapkan generasi yang siap bersaing di era globalisasi.

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA