Home

23 Jan 2024

Mengada Itu Abadi

Beberapa waktu silam, di kompasiana menampilkan HL kabar duka kepergian super Admin. Sontak memantik Kompasianer, menuliskan kesan-kesan dengan almarhum. Terutama yang mengenal secara pribadi, atau kenal melalui tulisan-tulisan di Kompasiana. Saya termasuk, di kategori terakhir (hanya via tulisan)

Jujurly, membaca beberapa artikel kompasianer. Saya merasakan getaran, termasuk rasa kehilangan yang mendalam (alm) Taufik H. Mihardja.  Kesan yang tertangkap dari kebersamaan, interaksi, canda bahagia tiba-tiba menguasai benak. 

Sebagai sesama muslim, saya turut melangitkan doa. Semoga setiap rangkaian kebaikan, sekecil apapun itu. Menjadi jalan untuk balasan ganjaran tertinggi, yaitu surga aamiin. Seperti janji Sang Khaliq, tak luput membalas sekecil kebaikan hamba-NYA meski sebesar biji sawi.

-----

Menangkap fenomena yang ada, seketika saya berbalik ke peristiwa pernah saya alami. Ketika ayahanda berpulang, rasa duka mendalam menyelimuti hati. Bertubi kenangan lampau, seolah memutar bak bioskop. Gambar hitam putih muncul, berisi kilasan peristiwa pernah saya dan ayah lewati alami bersama.

Kejadian yang dulu biasa saja, mendadak sangat berarti dan menguras emosi. Bola mata terasa basah, ketika kenangan-kenangan itu. Teringat senandung nyanyian ayahanda, ketika menidurkan saya. Tangan hangat mengusap usap punggung kecil saya, membangungan dan mengajak anaknya bangkit dari tempat tidur.

Sesaat selepas kepergian ayah, semua yang ditinggalkan begitu berarti. Selaksa memori terasa sesak, tentang sosok ayah yang sederhana tetapi istimewa. Terbayang sepatu sol tipis, warna kulit hitam itu telah memudar. Sisiran klimis dengan minyak rambut cair, kesetiaan membelah pematang menuju sekolah desa.

Pengorbanan almarhum, menjadi sebuah validasi tanggung jawab. Termasuk motor buntut, yang dibeli demi dipakai anak tertua. Ayah mengalah ke sekolah berjalan kaki,  sampai masa pensiun itu tiba.

Secara jasad ayah sudah tiada, namun kehadirannya justru kuat di hati. Bahkan sampai tulisan ini dibuat, artinya hampir delapan belas tahun almarhum dalam tidur panjangnya. Perasaan ada itu, terasa lekat di sanubari.

Mengingatnya membuat membiru rasa rindu, dan saya menyadari betapa "ada" itu sanggup mengabadi. Kita manusia sebelum lahir ke dunia, ruh kita telah bersemayam di ruang yang lain. Sampai akhirnya ditiup di rahim ibunda kita masing masing, lahir dan melihat indahnya alam fana.

Di semesta dunia ini, manusia hadir secara ruh dan jasad. Sampai waktunya tiba, jasad dikubur kembali ke asal (yaitu tanah). Maka kita kembali ke alam ruh, alam yang sudah kita huni sebelum lahir. Maka kalau ada istilah, dunia menjadi ladang cocok tanam, adalah benar adanya.

Dunia adalah medan penguji, terserah tanaman apa kita tingalkan nanti. Bagi yang menanam budi, akan berbeda dengan penanam dusta. Masing-masing akan melekat, pada pelakunya.

Dan kenangan setiap orang di benak sesama, membuktikan “ada” itu abadi. Tugas kehidupan adalah, bagaimana berbuat terbaik agar “ada” kita tentang hal baik.

Sejanak mari renungkan, nama nama besar terpahat di sejarah kehidupan manusia. Para manusia pilihan, Rasul, Nabi, penyuluh ilmu, pembela kebenaran, dan segala pesohor di aneka bidang. Nama mereka dikenang, karena apa yang pernah mereka lakukan selama hidup.

Secara jasad tiada, namun nama para suhada itu meng"ada". Bahkan seperti nabi nabi pilihan, mereka ada dan mengabadi. Terbukti meski telah melampaui masa, nama mereka tetaplah hidup di hati pecintanya.

Keteladanannya terasa hidup dan dipelihara sampai detik ini, menjadi rujukan hingga umat akhir jaman. Ya, ada itu abadi, smoga setiap orang yang teguh di jalan kebaikan, akan turut dalam mengabadinya ada. – Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA