2 Sep 2023

Ketika Berat Badan Sudah Ideal, Apakah Masih Perlu Diet?

 

(tulisan ini sudah tayang di Kompasiana dengan penulis yang sama)

Puasa Ramadan di tahun kedua diet, saya masih memperhatikan asupan. Sikap ini saya lakukan dengan satu sebab, pernah pada satu malam tiba-tiba saya merasa kesakitan. Separuh badan nyeri dibuat bergerak, sampai-sampai saya tidak bisa bangkit dari tempat tidur. Pikiran sudah menduga nama-nama penyakit, sampai saya ketakutan kalau benar kejadian.

Selang beberapa hari periksa dokter, mendapati hasil diagnosa yang mencengangkan. Beberapa nama penyakit mengerikan, disebutkan dokter setelah pemeriksaan. Kemudian saya mendapat banyak masukan, penyebab datangnya sakit dan bagaimana mengatasi.

“Musti merubah pola makan dan gaya hidup,” nasehat ini terus terngiang.

Sejak keluar dari ruang serba putih, saya bertekad merubah gaya hidup tidak sehat. Ramadan tahun lalu menjadi titik balik perubahan, saya memilah dan memilih jenis asupan. 

Setelah diet diimbangi olah raga, badan terasa jauh lebih enakan. Kaos dan celana lama, mulai bisa dipakai lagi. Perut buncit dan badan gempal, sudah tidak tampak lagi. Seiring berjalan waktu, saya mulai longgar dalam mengonsumsi bahan makanan.  Mula-mula hanya secuil makan ini dan itu, lama-lama kebablasan. Lingkar perut mulai beradu dengan lingkar celana, tapi saya masih menoleransi diri.

“kayanya, Lu gemukan lagi ya,”

Pernyataan seorang kawan, sontak menyadarkan saya dari khilaf. Bahwa saya mulai abai, tak pikir panjang soal konsumsi makanan. Kembali ke kebiasaan lama, tak terlalu hirau dengan asupan.

“Aku musti berubah” bisik batin ini.

Bulan Ramadan tahun ini, menjadi moment titik balik yang kedua. Seperti memutar ingatan, saya mengatur menu berbuka dan sahur.  Menghindari nasi, gorengan, olahan berbahan tepung serta asupan manis yang berasal dari gula (meskipun tidak seratus persen menghindar, setidaknya berkurang cukup drastis).  

Padahal kalau menuruti nafsu, maunya membatalkan puasa dengan kolak pisang atau bubur sumsum atau biji salak atau es buah sebagai takjil. Menu berbuka dengan makanan kegemaran, sepiring nasi dengan lauk ayam goreng tepung, ayam goreng biasa dan kremesan tepung, lele goreng, tahu dan tempe goreng, telur ceplok dan olahan gorengan lainnya.

Nasi dan lauk pauk aneka gorengan, semakin nikmat dipadukan dengan sayur kuah bersantan. Seperti sayur nangka (khas masakan padang), kuah santannya begitu nyata. Atau sayur opor ayam, kuahnya kental berwarna putih santan agak kekuningan.

“TIDAK !” batin ini protes.

Untuk alasan menghindari obesitas, serta tidak ingin sakit seperti satu tahun lalu. Akhirnya saya rela, menahan tidak makan menu kesukaan.

Memang bukan pekerjaan mudah, tapi kalau sudah diniati, semua tantangan harus dijalani. Ramadan kedua program diet, mindset ini akhirnya mulai terbentuk. Saya terus berusaha tidak tergoda, aneka menu terhampar di meja saji.

Air putih menjadi andalan, sesaat setelah kumandang adzan maghrib terdengar. Saya kuat minum dua gelas – ukuran sedang— air putih sekaligus, diselingi menguyah beberapa butir kurma. Setelah itu break sholat, memberi kesempatan pencernaan menyesuaikan diri. Selesai menegakkan sholat tiga rakaat,  dilanjutkan makan buah baru menyantap makanan utama.

Makanan diolah dengan cara rebus, ungkep, kukus, panggang atau paling berat dibakar, lebih saya pilih untuk dikonsumsi.  Semacam pecel sayur, gado-gado, somay, dimsum, jagung rebus, ubi rebus, singkong rebus, kacang kulit (disangrai), kacang rebus, menjadi makanan yang diincar. 

Olah raga di bulan Ramadan tetap dilakukan, dengan memilih waktu yang relatif aman. Setengah jam sebelum berbuka, menjadi waktu cukup ideal untuk berolah raga.  Sekitar duapuluh lima menit senam atau gerak badan, berhenti lima menit sebelum berbuka.

Atau kalau mau lebih leluasa, bisa olah raga malam selesai taraweh. Sekitar jam sembilan malam, bisa push up, sit up dan gerakan untuk membentuk otot perut.

-0o0-

 

Saya mencari referensi perihal gaya hidup sehat, dari membaca artikel dan atau melihat video di youtube.  Menyimak para pelaku hidup sehat yang terbukti berhasil, membuat semangat hidup sehat kembali berpendar. Mereka telah mendapati badan lebih sehat, dengan berat yang lebih ideal pastinya.

Maka Ramadan tahun ini, saya punya tantangan lebih untuk mengalahkan diri. Adalah menahan lapar dan haus di siang hari (selain ucap dan sikap), juga menahan sembarang asupan pada  malam hari. Menjalani puasa dan menjalani diet, keduanya butuh upaya keras untuk menaklukan ego diri.

Dengan tinggi sekitar 177 cm, saya canangkan target berat badan di angka 77 kg. Satu bulan disiplin dengan asupan, pada malam lebaran saya menimbang berat badan. Hati ini berbunga-bunga, mendapati bobot badan turun melebihi target ditetapkan.

 

Oke, kalau berat tubuh diingini sudah dicapai, apakah musti berhenti diet ? Ada satu jawaban keren, dari seorang vlogger sekaligus pelaku diet yang sudah berhasil. Bagi Kompasianer yang sudah hidup sehat, jadikan pola makan yang terbentuk menjadi lifestyle.

Kalau memilih asupan sehat (no minyak, no gula) diimbangi olah raga rutin, sudah menjadi bagian dari gaya hidup keseharian. Niscaya kita tidak akan merasa terpaksa menjalani, bahkan akan menikmati proses tersebut.  Semua dijalani sebagai kebiasaan, gol hendak dicapai bukan lagi berat badan ideal, tetapi badan  yang sehat.

 

Salam Sehat – Agung Han -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA