8 Sep 2023

Antara Tetap Kerja atau Kerja Tetap


Jaman terus bergulir, dan tren, adat, pola mikir manusia juga berubah. Tetapi soal adab dan sikap, tetaplah sama alias tidak berubah. Misalnya menghormati yang lebih tua, dan menyayangi yang lebih muda.  Termasuk sikap bertanggung jawab, atas setiap keputusan yang telah dibuat.

Setelah berumah tangga, saya ingat dan memegang nasehat kakak ipar. Bahwa kalau sedang sedih/ ada masalah, jangan ceritakan ke orang tua. Sudah tidak waktunya, orang tua ikut memikirkan masalah anaknya. Sebaiknya berbagi dengan pasangan, mencari jalan keluar bersama-sama.

Dan di setiap jadwal telepon ibu (ayah sudah almarhum), saya menghindari berkeluh kesah (apalagi masalah keuangan). Saya dan ibu berbincang ringan, kadang setengah jam belum tentu tuntas. Berbagi kabar di kampung, saudara jauh yang menggelar sunatan, sungai dekat kebun yang longsor, berita duka dari tetangga atau saudara, dan seterusnya dan seterusnya.

Beberapa kali saya menemui gap, pola pikir ibu yang termasuk generasi lama dengan pandangan maintream (baca kuno). Baik soal usia menikah, definisi bekerja yang identik kerja di kantor (baik PNS atau karyawan swasta), dan seterusnya. 

Orang bekerja, menurut pikiran ibu. Adalah berangkat dari rumah di pagi hari, dan pulang di sore hari. Memakai seragam atau baju rapi, lazimnya pegawai di kantor pemerintah atau perusahaan swasta.

Maka ketika dulu saya memutuskan resign , Ibu adalah orang pertama yang menentang. Petuah panjang (tepatnya omelan), disampaikan tanpa jeda. Bahwa sebaiknya bekerja, bertahan di satu tempat dan jangan pindah-pindah. Karena perlahan-lahan, karir menanjak seiring gaji yang semakin besar.

Dari lubuk hati terdalam, saya sangat tidak setuju pendapat ibu. Tapi saya tidak menjawab, yang ujungnya berpotensi debat. Namanya orang tua, pasti ingin yang terbaik untuk anaknya.

****

Saat menghadiri sebuah majelis, saya menyimak tausiyah ustad yang berbagi pengalaman. Tepatnya ketika melamar gadis pilihan, dan mendapat pertanyaan dari calon ayah mertua.

“Kamu sudah punya pekerjaan tetap?”

Saya menduga jawaban ustad muda, “Belum pak”, atau “sedang mencari Pak” atau jawaban semisal. Tapi tebakan saya salah.

“saya tidak kerja tetap Pak, tapi saya tetap kerja.” Jawab si ustad

Entah bagaimana reaksi camer – tidak diceritakan--, yang jelas akhirnya lamaran itu diterima. Ustad telah berkeluarga, dengan buah hati beranjak besar.

Antara Tetap Kerja atau Kerja Tetap


Dulu pernah ada video viral, seorang bocah ditanya cita-cita oleh Presiden Jokowi. Si anak SD menjawab, kalau besar ingin menjadi “Youtuber”. Kemudian reaksi audience, tertawa secara bersamaan.

Padahal tidak ada yang salah, ingin menjadi youtuber, vlogger, penulis, konten kreator, pemusik, olahragawan dan sebagainya. Di era kekinian, saya lumayan jarang menemui jawaban anak-anak, yang ingin menggeluti profesi mainstream.  Anak-anak masa kini, ingin bekerja secara independent, berorientasi pada hasil. 

Bahwa bekerja adalah fitrah hidup ini, bahwa setiap manusia diwajibkan berusaha. Kerja tetap dan tetap kerja, (menurut saya) ada ditataran istilah yang pada prakteknya sama. Seorang konten kreator, pencipta lagu, penulis skenaria, esensinya bekerja menghasilan sesuatu.  Layaknya seorang guru, dosen, dokter, Polisi, Pilot, dan lain sebagainya. Yang membedakan di setiap pekerjaan, adalah bagaimana di pelaku pekerjaan tersebut.

Orang yang bekerja sepenuh hati, akan mengerahkan segenap kemampuan dimiliki. Dan itulah yang dinamakan, bekerja dari dan dengan hati. Dan hasil pekerjaanya,  akan berbeda dengan orang yang setengah-setengah.

Bekerja musti dibalut dengan kesungguhan, yang menyertakan komitmen. Karena sudah saatnya, tidak membedakan antara kerja tetap dengan tetap kerja. Semua sama semua tiada beda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA