Home

23 Apr 2022

BNI Mengangkat Olahan Kertas Bekas yang Mendunia Karya IRT di Bogor

 

“Tak Ada Rotan Koranpun Jadi”

Quote milik Salam Rancage di atas, rasanya ditulis bukan berdasarkan inspirasi belaka. Tetapi sudah menjadi bagian dari aksi nyata, dan kertas koran bekas itu menjelma menjadi barang dengan nilai lebih. Ya, kerajinan kertas koran bekas itu, telah menembus pasar di benua Amerika dan Eropa.

Talkshow Kartini Go Global, diselenggarakan BNI bersama Komunitas Ayo Naik Kelas dan Rumah BUMN BNI di BNI Xpora Jakarta.  Mengenalkan saya kepada sosok kartini masa kini luar biasa, yang berada dibalik mendunianya olahan kertas koran bekas, karya ibu rumah tangga di daerah Bogor Jawa Barat.

Dan satu kartini hebat lainnya, perempuan yang tak lelah mengenalkan kain tradisional Indonesia ke pentas global.

---

Bulan April, identik dengan hari Kartini. Bulan lahirnya tokoh emansipasi perempuan, asal desa Mayong, Jepara - Rembang, termahsyur dengan karya buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Perempuan kelahiran 21 April ini, selain terkenal dengan surat-suratnya, juga telah berhasil mengangkat kerajinan Jepara.

Siapa tak kenal ukiran (kayu) jepara, ukiran dengan detil yang rapi dan teliti serta (tentunya) bernilai ekonomi tinggi. Saya memiliki saudara yang berjualan ukiran Jepara, konon untuk membeli musti memesan jauh hari dan menunggu beberapa bulan. Karena musti antri dulu, mengerjakan pesanan yang masuk sebelumnya. – keren ya.

Sejenak menengok ke belakang, majunya kerajinan ukiran Jepara masa kini tak lepas dari upaya Kartini. Konon di museum Rembang (tempat dinas suami R A Kartini), terpasang bukti korespondensi yang berisi pemesanan hasil kerajinan (rajutan) Jepara untuk dikirim ke Belanda.

Bisa dibilang surat menyurat kala itu, sekaligus dimanfaatkan Kartini untuk kepentingan transaksi jual beli. Atau kalau jaman digital sekarang, bisa disejajarkan dengan jual beli online. Jaman itu, medianya adalah kertas surat.

Bayangkan, seorang anak perempuan yang sedang menjalani tradisi pingitan. Melalui kebisaan menulis, bisa melakukan dobrakan luar biasa (untuk ukuran jaman itu). Dari balik tebalnya tembok kabupaten, tetap bisa memberi sumbangsih bahkan hasilnya melintasi jaman.

Semangat wirausaha Kartini yang Go Global ini, menjadi dasar BNI Xpora dan Ayo Naik Kelas mendorong Kartini Millenial untuk juga Go Global. Adalah Aling Nur Naluri Widianti pendiri Salam Rancage, inisiator pemberdayaan perempuan di Gang Abdul Kodir - Bogor Utara. Dan Wisdi Indarto, designer yang mengangkat kebaya kutu baru dengan konsep kasual, di setiap karyanya.

Hasil yang didapatkan dua Kartini millenial ini, tentu tidak terjadi tiba-tiba dan begitu saja. Melainkan melalui proses panjang dan tertatih, disertai konsistensi dan ketekunan. Aling telah memulai dari tahun 2012, sementara Wisdi sudah sembilan tahun berkreasi.

Secara khusus Wisdi ingin, menjadikan kain kutu baru dipakai tidak hanya untuk acara formal saja. Tetapi bisa menjadi busana sehari-hari, bisa digunakan di segala kegiatan.

Wisdi - nomor dua dari kiri- dokpri

Ya, konsisten dan tekun, dua kata yang saya sarikan dari obrolan di talkshow di BNI Xpora sore itu. Kegiatan Kartini Millenial Go Ekspor diselenggarakan, guna mendukung gerakan nasional bangga buatan Indonesia serta KTT G 20 pada November 2022.

BNI Mengangkat Olahan Kertas Bekas yang Mendunia Hasil Karya IRT di Bogor

Masuk gerai BNI Xpora di gedung Smesco Jakarta, pandangan saya tak lepas dari hampers mini yang bentuknya unik. Barang kerajinan tempat pulpen dan pot kaktus mini, di belakangnya memiliki cerita sangat panjang.

Melihat sekilas saya sempat terkecoh, benda yang ada di tangan terbuat dari rotan. Kemudian perkiraan itu terkoreksi, bahwa hampers mini hasil karya ibu rumah tangga (IRT) di Bogor ternyata tbuat dari kertas koran bekas. Dan dengan perubahan tampilan, kertas bekas itu telah memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Ini bukan sekedar menganyam kertas koran jadi barang cantik tapi menganyam harapan untuk hidup lebih baik” tutur Aling

 

Aling Nur Naluri Widianti

Mengenal Salam Rancage

Rancage berasal dari bahasa sunda, artinya sesuatu yang indah atau cantik atau bisa diartikan kreatif atau terampil. Ide Salam Rancage terpantik, ketika mendapati kenyataan bahwa di Bogor melimpah barang bekas. Kertas bekas adalah sampah terbanyak nomor tiga.

Ketika itu kebanyakan perempuan yang tinggal di Gang Abdul Kodir Bogor, kebanyakan bekerja di sektor informal dengan apresiasi kurang layak. Mereka tinggal di bantaran sungai, setiap tahun kebanjiran tidak hanya air tetapi juga sampah.

Salam Rancage hadir, membersamai para perempuan agar tidak tinggal diam. Ibu-ibu diajak berkarya dan berkontribusi untuk perubahan, sehingga perempuan mendapat dignity atau martabatnya melalui kreatifitasnya.

Beruntung, ide Salam Rancage bak gayung bersambut. Warga kampung juga memendam mimpi, untuk memiliki kampung hijau, bersih, rapi, setiap rumah punya tanaman hijau. Mereka bersedia diajak beraksi, yaitu berkebun memanfaatkan lahan yang dimiliki, serta dilatih (selama satu tahun) untuk menganyam.

Di tahun pertama hanya 6 ibu, kemudian yang bertahan hanya satu ibu. Dan kini terus berkembang, ada sekitar 40-an ibu yang bergabung sebagai pengrajin.

Dari hasil karya tangan ibu rumah tangga, tercipta aneka anyaman daur ulang berbahan kertas bekas. Seperti tempat pensil, tempat tisu, note book, souvenir kecil, tempat laundry, dan lain sebagainya. Konsep Rancage membantu ibu-ibu mendapatkan pendapatan tambahan, sehingga menganyam dilakukan di sela-sela waktu kegiatan.

Setelah hasil kerajinan menembus pasar ekspor, ternyata memiliki dampak terhadap soft skill dalam diri ibu-ibu.Yaitu ada nilai-nilai positif bertumbuh, seperti sikap lebih kreatif, lebih tekun, sabar, percaya diri, sehingga memunculkan ide kreatif lainnya.

Merembet ke ide Pasar Dongko, bukti output dari soft skill ibu-ibu. Pasar ini menjadi sarana kampanye, menyelamatkan sungai dari timbunan sampah. Pasar yang buka di minggu pertama setiap bulan (jam 07- 10), menjual makanan hasil kebun sendiri dikemas dengan daun.

Tak mengherankan, jika selama tiga tahun pasar beroperasi, tidak ada selembarpun sampah kemasan plastik atau kertas yang dihasilkan.

Saat pandemi melanda, kreatifitas itu muncul lagi. Pasar Dongko bertransformasi, menjual makan via online. Para suami yang terkena PHK menjadi kurir, dengan rantang yang dibawa pulang setelah pesanan diserah terimakan ke pembeli.

Kini setelah pandemi mereda, pasar Dongko beroperasi secara hybrid (online dan offline). Dan ada inovasi terbaru lagi, para ibu penjual telah terkoneksi dengan sistem aplikasi kurir online. Sungguh, bicara pasar Dongko, adalah bicara tentang kontribusi, semangat, dan Inspirasi.

Saya percaya setiap perempuan berhak memberi manfaat, berhak bermantabat dan berperan untuk kehidupan yang lebih berati, saya percaya setiap perempuan adalah jiwa yang hebat” Aling Nur Naluri Widianti

----

Salut dengan BNI Xpora, yang menghadirkan dan mengangkat profil kartini hebat masa kini. Aling dan Wisdi, sosok yang bisa dijadikan panutan. Bangsa Indonesia yang besar ini, membutuhkan pribadi- pribadi tangguh guna menjawab tantangan jaman.

Selaras dengan pernyataan Aling, bahwa kita tidak boleh berhenti pada kata hebat, tetapi musti menghebatkan. Karena apa yang dilakukan di Gang Abdul Kodir Bogor, sangat bisa diterapkan di daerah lain, meski dengan tantangan yang berbeda.

Selamat Hari Kartini, Kartini Millenial Go Ekspor.



1 komentar:

  1. Salut sm perempuan hebat seperti Aling dan Wisni yg terus berkarya

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA