12 Agu 2015

Anak Butuh Keteladanan [Sebuah Catatan Anak Bangsa]



ilustrasi dokumen pribadi
Saya sangat sepakat dengan peribahasa, air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Peribahasa yang sudah saya hapal di bangku SD, tak jauh beda dengan pepatah "Buah Jatuh tidak jauh dari pohonnya". Anak-anak adalah cerminan dari orang tuanya, karena sekolah paling awal ada pada ibu dan ayahnya. Dari rumahlah anak-anak dibentuk (atau terbentuk) karakternya, yang akan dibawa menyongsong kehidupan di dunia luar yang luas.
Saya belajar dari pengalaman masa lalu, mendapat asupan kasih sayang yang cukup. Meski secara materi pas-pasan, tapi kedua orang tua cukup waktu memberi perhatian. Kehidupan desa yang relatif rendah mobilitas, membuat ayah atau ibu ada saat kami membutuhkan. Sikap ayah yang bersahaja karena kondisi ekonomi, ditopang ibu yang cukup hemat dalam berbelanja. Pendek kata serupiah yang keluar dari kantong, musti sangat diperhitungkan kemanfaatannya. Semua keadaan masa lalu tersimpulkan dengan cara saya sendiri, otomatis membentuk karakter ketika dewasa dan merantau kelak.
Anak dan Keteladanan
Anak butuh figur yang sadar atau tidak akan dijadikan acuan, kemudian mereka akan menyontoh perilaku sang figur. Maka ruang ini semestinya diisi oleh orang tua, karena ibu atau ayah (semestinya) kerap ditemui dalam keseharian. Pada ayah dan ibulah serba memungkinkan,  anak-anak akan berbagi kisah dan kesah. Pada orang tua pula mereka akan mengajak berbicara, mencurahkan perasaan sekaligus meminta pertimbangan.
Ibu Elly Risman Musa seorang praktisi dunia parenting, mengungkapkan bahwa anak-anak adalah peniru ulung. Terutama pada anak usia Balita, menjadikan ayah dan ibu sosok yang dicontoh tindak-tanduknya. Pada situasi ini saya memosisikan sebagai pembelajar, berupaya semaksimal mungkin menjadi teladan yang baik. Sebagai keluarga muslim kami berusaha konsisten, mendirikan sholat lima waktu secara baik. Membiasakan membaca kitab suci setiap hari, berharap anak-anak melihat kemudian mencontoh. Konon nasehat terbaik bukanlah dengan ucapan semata, tapi justru lebih efektif dengan tindakan. Alhamdulillah anak yang kelas empat, menjaga sholatnya bahkan mengajinya sudah al qur'an. Sementara adiknya masih TK A, sudah mulai berlatih membaca Juz Ama.  
-0-o-0- 
Perihal keteladanan saya jadi ingat sebuah buku, "Menjadi Ayah Bintang" karya Neno Warisman. Pada sub judul "Ayah Sejati" terdapat penggalan kisah apik, sangat menginspirasi semangat dan jiwa keayahan saya.
Memetik kisah menggetarkan dalam buku tersebut saya berkesimpulan, seorang anak hebat niscaya lahir dan tumbuh dari ayah dan ibu hebat. Karena pada orang tua yang berperilaku baik akan "tertularkan",  sekaligus menjadi panutan anak-anak dalam menentukan sikap. Keteladanan menjadi kata kunci tidak bisa ditawar, tanpa memandang harta, jabatan dan semua kepemilikan. Siapapun orang-tua dengan profesi apapun, dengan kondisi sosial ekonomi yang bagaimanapun, bukan halangan untuk memberi keteladanan baik pada anak-anak.
ilustrasi dokumen pribadi
 Anak-anak dalam Permasalahan
Sebagai orang tua perasaan saya cukup miris, melihat anak-anak di lingkungan sekitar rumah.  Merasakan dan mendengarnya secara langsung, memberi kesimpulan mereka minim keteladanan. Sungguh saya merasakan pedih di hati, ketika mendengar anak belum genap sepuluh tahun berucap tak pantas. Pernah saat dengan roda dua melintasi sekumpulan anak, terdengar kata (maaf) "Bego" "Songong" "Goblok" "Payah luh" dan kata tak pantas lainnya. kejadian nyata juga pernah saya jumpai saat mengantar anak sekolah, seorang ibu mengumpat dengan kata tak semestinya pada anaknya.
(Maaf) "Dasar otak luh Bego" si ibu ekspresi wajahnya tidak bersahabat.
Sejauh pengetahuan dan keyakinan yang saya yakini, dalam ilmu agama ucapan orang tua laksana doa. Maka orang tua musti banyak belajar, agar tak sembarang berucap menghadapi buah hati.
Pada bilik-bilik kecil di warnet pernah mejumpai, beberapa anak berseragam merah putih sebagian lagi biru putih. Karena saya berada persis di bilik bersebelahan, mendengar obrolan dan celoteh mereka. Saya berkesimpulan mereka mengakses youtube, dan menyaksikan tayangan tidak sesuai usaianya. Situs-situs dewasa tak segan beramai-ramai ditelusuri, sambil cekikikan mereka mellihat gambar tanpa pakaian. Celetukan terdengar mengomentari yang dilihat, tentu dengan kalimat jorok dan tidak pantas. Sementara pada anak-anak usia awal belasan, terlihat mulai menghisap rokok di tempat umum.
Saya sepakat perkembangan tekhnologi tak bisa dihindarkan, masalahnya adalah bagaimana agar tekhnologi menjadi bermanfaat. Satu satunya jalan adalah memakai untuk hal positif, yang mendukung untuk perkembangan pribadi lebih baik.  Pertanyaannya dari mana anak-anak mendapat masukan, tak lain dari orang tua di rumah. 
Sering saya menjumpai pasangan muda mudi, menilik tampilannya dari keluarga berkecukupan. Berdua remaja pria dan perempuan mojok di cafe, tanpa canggung memanggil dengan sebutan "Yang" bersentuhan fisik. Sambil tertawa tak henti bercerita, tangan saling merangkul dan sebagainya. Pada hari libur kisah mirip terjadi di taman, dari wajahnya saya taksir umur belasan. Perilakunya seperti sejoli sedang kasmaran, si pria tak segan mengelus pipi pasangannya.
Kalau mau merunut kejadian serupa masih banyak lagi, membuat saya sebagai orang tua tambah prihatin. Kalau kebetulan kenal biasanya saya tegur dengan halus, tapi tak yakin apakah mereka akan berubah.  Keadaan yang terjadi pasti tidak tiba-tiba, ada benang merah panjang dibelakangnya. Tiba-tiba saya jadi berkesimpulan sendiri, perihal keteladaan orang tua di rumah.  Sebuah cuplikan puisi pernah saya dengar dalam sebuah acara, rasanya relevan dengan keadaan.
Di rumahmu ada pintu dan jendela,
Kau berusaha selalu menutupnya
Agar angin dan badai tak menerpa
Agar buah hati tak disentuhnya

Namun anak-anak akan tiba masa
Menempuh onak kehidupan
Melintasi badai masing-masing
Tumbuh menjadi pribadi mandiri
Situasai di dunia luar rumah sangat tidak terprediksi, maka membangun pondasi mental menjadi cara manjur mempersiapkan anak-anak.  Ketika tiba saat anak-anak lepas dari orang tua,  mereka siap menempuh perjalanan kehidupannya sendiri.
dokumen pribadi

dokumen pribadi

Mengatasi Masalah Anak
Saya pribadi biasanya berbagi pada teman, yang memiliki anak seusia anak saya. Ngobrol tentang cara menangani masalah anak, juga urun saran kalau terjadi masalah keseharian. Kalau ada seminar parenting tak segan datang, ilmu yang didapati tak enggan dibagikan. Meluangkan waktu khusus bersama anak, termasuk menemani jika mereka ingin ke warnet seperti temannya.
Namun tidak semua orang tua bersikap sama, ada yang abai tak mau tahu dan seenaknya. Bisa saja jumlahnya mereka lebih banyak, dibandingkan orang tua yang perhatian. Mungkin upaya saya ibarat setetes air di tengah sahara, mungkin saja efeknya tidak terlalu signifikan.  Namun setidaknya saya memulai yang saya bisa, minimal merubah sikap dari diri sendiri. Merujuk ulasan yang saya paparkan pada artikel ini, saya justru ingin focus pada orang tuanya.
Saya kira cukup menjadikan anak sebagai focus permasalahan, tanpa melihat sekian aspek yang berdiri dibelakangnya. Andai saja ada pihak yang mau merepotkan diri, melakukan kelas parenting dari lingkungan terkecil yaitu RT. Setiap bulan biasanya akan ada arisan untuk ibu-ibu, atau kegiatan kerjabakti bagi bapak bapak. Atau melaui majelis taklim di masjid terdekat, diselipkan pembahasan dengan tema pengasuhan dikaitkan agama. Misalnya saja tenaga sukarelawan parenting dihadirkan, meluangkan satu jam saja dalam kegiatan rutin tersebut. Siapa tahu upaya mulia ini bagai cahaya, dalam gelap pengetahuan dunia pengasuhan. Menurut saya sungguh tak adil terus menuntut sang anak, tanpa meminta orang tua memberi keteladanan. 
Coba kawan's mari kita bandingkan, antara dua strategi ini mana yang mujarab.
Cara pertama ;
"ayo nak segera tidur besok kamu musti bangun pagi" ujar ayah suatu malam.
Keesokan hari si anak benar bangun pagi, sementara ayahnya masih mendengkur. Kok saya gak yakin malam berikutnya si anak akan menurut, ketika dinasehati tidur cepat agar bangun pagi.
Cara kedua ;
Ayah membangunkan anaknya yang masih tidur, ketika pagi mulai menjelang datang. Sang anak pasti lebih termotivasi bangun, melihat ayahnya lebih dulu menyongsong fajar.
Pada cara kedua terdapat keteladanan, tanpa ajakan yang diabaikan sendiri oleh ayah.
Pada ujung artikel ini ingin saya cuplikkan, sebuah puisi abadi tentang anak dari kahlil Gibran.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur
Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian
Dia merentangkanmu dengan kekuasaan-NYA
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat

Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihiNYA busur yang mantap

Menjadi orang tua ibarat sebuah proses pembelajaran panjang, akan menuai hasil kelak ketika tiba masanya. Betapa anak panah (anak-anak) yang melesat jauh serta cepat, berasal dari busur (orang tua) yang kuat dan mantap. (salam)

6 komentar:

  1. Anak2 masih dalam tahap meniru. Semoga yang ditiru yang baik2 saja ya mas Agung :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat Mbak Rahmi
      terimakasih sdh berkunjung
      salam :)

      Hapus
  2. anak-anak memang mencontoh orang terdekat bahkan lingkungan terdekat ya, wajib sekali di berikan pelajaran akhlak yang baik agar besarnya terarah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat Mbak Lidya
      terimakasih sudah berkunjung
      sukses selalu dan salam :)

      Hapus
  3. Balasan
    1. trimakasih berkenan berkunjung
      salam :)

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA