16 Agu 2023

Mereguk Nilai Keayahan di Film Keluarga Cemara


Saya bukan penggemar nonton, belum tentu pergi ke bioskop dalam sebulan. Tetapi saya tidak anti, menonton judul tertentu yang membuat penasaran. Termasuk film Keluarga Cemara, pernah tayang serial televisinya di rentang 1996 – 2005.

Keluarga Cemara hadir dengar versi layar lebar, pada tahun 2019. Dengan karakter yang sama di televisi, namun memasang nama-nama baru sebagai pemerannya. Dan mengikuti jejak serial tv, versi bioskop mendapat sambutan hangat .

Saya sangat menikmati adegan per-adegan, dialognya yang menyatu dengan musik, didukung tata artsitik menawan. Ceritanya nyaris seperti keseharian, yidak ada sejahat-jahat karakter dan tidak ada sebaik-baik karakter. Semua adegan terasa wajar, seperti kejadian di alam nyata.

Misalnya scene kebangkrutan atas alasan penipuan, disertakan alasan juga, sehingga adegan tersebut tidak berdiri sendiri. Termasuk nilai-nilai yang disampaikan, cukup efektif, bisa menjadi pembelajaran dan inspirasi bagi penonton. 

Karakter abah (diperankan Agus Ringgo) sangat natural, dengan peran dan fungsi sebagai kepala keluarga. Si abag selalu bertanggung jawab, berupaya mengakomodir semua kepentingan setiap anggota keluarga.

Terlihat dari saat dilanda keterpurukan, Abah dikuatkan emak memutuskan pindah ke pinggiran Bandung. Dari keterpurukan bisa menjadi peluang, membuktikan abah tangguh bisa mengatasi keadaan.

Digambarkan di awal film dengan dramatis, konflik dikemas sangat simpel dan penonton bisa menangkap secara jelas tanpa menduga-duga. Abah dan emak (diperankan Nirina Zubir) sangat bijak menghadapi masalah besar, perasaan kesal dipendam seolah siap melahirkan kekuatan.

Chemistry setiap anggota keluarga terbangun bagus, termasuk Cemara (diperankan Widuri Puteri) dan Euis (diperankan Adhisty Zara), bisa mengimbangi akting dua pemain senior. Banyak bagian adegan yang menyentuh, karena sangat bisa terjadi di keseharian.

Peran emak sebagai penguat sangat tampak, bahwa tidak ada yang menyalahkan abah, dan tidak pernah membuatnya menyesal. Euis di awal  puber, posisinya sangat rentan menghadapi lingkungan baru. Perubahan sikap Euis begitu smoth, dengan alur cerita yang tidak dipaksakan.

Kehadiran Ara menyita perhatian saya, gadis kecil dengan eksotis khas Indonesia. Ara mengakui, tidak berani memaksa kemauan yang buat abahnya marah, “Ara tidak suka melihat Abah marah,” ujarnya polos.

Seorang ayah pada umumnya, ketika marah tidak meluapkan emosi sejadi-jadinya, yang melukai perasaan istri dan anaknya terluka. Secara pribadi saya setuju, Keluarga Cemara menjadi film favorit untuk ditomton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA