Home

31 Okt 2018

Kisah Tentang Sepotong Kesabaran

Suasana kota Jeddah - dokumentasi pribadi

Saya pernah menerima sebuah surat elektronik, dari satu alamat yang sebelumnya tidak saya akrabi.
Kemudian si pengirim mengenalkan diri, mengatakan mengetahui saya dari artikel yang saya publish.

Email yang dikirim bercerita perihal kisah yang telah dilalui, sembari menitip pesan agar saya menuliskan ulang di blog.

Membaca cerita teman ini, menyadarkan saya pada satu hal. Bahwa setiap kita, sejatinya telah terbentang jalan musti dititi satu persatu bagai anak tangga.

Kesabaran adalah senjata tidak ditawar, sabar yang berbatas cakrawala, sabar tak bersangka ujung pangkal.
Kalau ada yang bilang "sabar ada batasnya", sejatinya cermin seberapa sanggup si manusia bertahan sabar.

Batas kesabaran orang berbeda, tergantung sedalam apa menyelami makna kata sabar. Hanafi (selanjutnya saya menyebut pengirim email),  mengisahkan onak duri yang dilalui.

Lelaki tangguh itu, kini berada jauh di kota Jeddah, setelah menebus sekian lama penantian. Tidak mudah memang menjalaninya, tapi keyakinan beriring upaya dan doa menjadi pegangan.

*****

“Alhamdulillah, dua bulan lalu saya mulai bekerja di restoran di Jeddah. Tapi sebelumnya, saya juga pernah jadi TKI” tulis Hanafi di emailnya.

Tahun 2013, lelaki lulusan STM ini pernah bekerja di perkebunan di Malaysia. Sebagai pekerja outsourching, bersama beberapa teman dikontrak selama tiga tahun.
Harapan kembali -- selepas masa kontrak—ke tanah air begitu besar, sembari menyusun rencana masa depan.  

Setiap akhir bulan, sebagain besar gajinya langsung ditabung. Makan sekedarnya, keinginan jalan-jalan dan jajan lebih banyak ditahan.

Semua dilakukan demi memuluskan rencana, ingin menetap di negara dicintai, berdekatan dengan ayah ibu yang dikasihi.

Setelah kontrak berakhir, saatnya Hanafi mewujudkan asa dipendam. Kembali pulang ke tanah kelahiran, tempat menambatkan harap besar.
Mempertimbangkan kemampuan diri dan menimbang masukan dari orang terdekat, akhirnya satu keputusan ditetapkan Hanafi.

Namanya sedang punya duit banyak, anak muda ini berpikir pendek demi kesenangan semata.
Sebagian tabungan diambil, sebagai uang muka pembelian mobil. Artinya masih punya kewajiban, membayar cicilan selama beberapa tahun ke depan.

“Dari sinilah, persoalan baru muncul” ujarnya di email.

Sembari sibuk mencari pekerjaan, terbetik ide menyulap roda empat menjadi lebih produktif. Akhirnya keputusan diambil, menitipkan mobil baru ke penyewaan. Dengan harapan, hasil pembayaran sewa bisa mem-back up cicilan.

Proses kerjasama dimulai, kondisi saling menguntungkan dialami Hanafi. Enam bulan berselang, senyum tersungging hak dan kewajiban berjalan sebagaimana mestinya.
Memasuki bulan ketujuh, Hanafi mulai merasakan kejanggalan. Pernah pada satu waktu, ingin memakai mobil untuk keperluan keluarga. Pemilik penyewaan berkelit, bahwa mobil sedang dipakai pelanggan.

Puncaknya terjadi, ketika lebaran sudah dalam hitungan hari. Si partner tetap merangkai alasan, seolah meyakinkan bahwa mobil dalam keadaan aman.
Bak petir di siang bolong, lelaki lajang ini terhempas pertahanan. Harta paling berharga dimiliki, tak diketahui sangkan paran.

“Mobilnya hilang mas” ujar pemilik penyewaan.

Pihak rental lepas tangan, semua beban ditanggung Hanafi. Sebelum surat laporan kehilangan polisi dipegang, pembayaran angsuran tetaplah berjalan.

Tabungan menipis, setipis harap kendaraan kembali di tangan. Debt collector seperti musuh bebuyutan, "menerkam mangsa” yang dianggap mangkir. Akhirnya laporan kepolisian keluar, satu masalah seperti tutup buku dari kehidupan.

Pencarian pekerjaan di tanah air, ibarat mencari jarum ditumpukkan jerami. Dada Hanafi sesak, bola mata sembab, ketika merasakan babak sedang dilakoni.
Langkah tegap itu terayun, menuju kantor penyaluran TKI. Sebuah harapan terbit kembali, ketika peluang bekerja di Canada terbuka.

Semangat baru terbit, hari dijalani seperti kembali bersemi. Rasa pedih kehilangan mobil, lama-lama luntur dengan sendirinya.
Batu ujian kembali menghadang, setelah sejumlah uang disetor, kantor penyalur TKI mangkir. Janji manis berangkat ke Canada pupus, Hanafi tehempas untuk kesekian kali.

“Saya benar-benar terpuruk” tulisnya.
Tinggal dan menganggur di rumah orang tua, rasa perih itu berlipat dan menghunjam ulu hati. Setiap kalimat dituliskan pada saya, seolah tak sanggup mewakili rasa nelangsa.

Di ujung sisa asa yang dipunya, Hanafi tak patah arang mencoba peruntungan. Kembali datang ke kantor penyalur TKI, yang pernah mengirimnya ke negeri Jiran. Kali ada ada lowongan di kota Jeddah, nama yang selama ini di luar bayangan harapan.

Sehari dua hari genap seminggu, dua tiga minggu membulat satu bulan. Harapan muncul berganti tenggelam, bagaikan fatamorgana antara ada dan tiada.
Kantor penyalur yang menaungi, mengulur waktu setiap ditanya perihal keberangkatan. Di sisi lain menyandang status pengangguran, menjadi siksaan batin tersendiri.

Hanafi dengan kisahnya, layaknya setiap kita yang sedang meniti alur nasib dan takdir digariskan. Penantian kali ini, rupanya tak kalah menguras energi kesabaran.
Genap setengah tahun menanti, kabar menyenangkan didapati. Lelaki dengan ujian kesabaran, dinyatakan berangkat menuju Jeddah.
sebuah restiran di kota Jeddah - dokpri

Awal  bulan Agustus lalu, Hanafi telah me-merdeka-kan perasaan tertekan. Terbang membelah awan, menempuh sekian waktu perjalanan.
Sebuah Restaurant di kota Jeddah tengah menanti lelaki perkasa, sebagai tempat menjulangkan asa membahagiakan orang tua.


“Selamat berkarya Hanafi, semoga sehat dan sukses selalu” balasan email saya kirim. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA