Bergabung di
group teman- teman SMA, membuat saya mendapati banyak kabar teman- teman lama.
Setelah puluhan tahun tak bersua, kini terhubung melalui aplikasi percakapan.
Teman- teman
seumuran, sebagian besar kami sudah beranak pinak. Masing- masing telah
merasakan pahit getirnya kehidupan, tak ayal diantara kami banyak yang tak
seperti dulu. Ada yang silent rider, ada yang muncul sesekali seperlunya.
Terlepas dari
liku-liku hidup, di percakapan group konco lawas bisa menjadi tempat bertukar
pengalaman. Sampai saya mendengar satu kabar, yang membuat ssangat berempati merasakan
kesedihan itu.
Teman satu
sekolah dari SD sampai SMA, di kampung rumah kami tidak terlalu jauh berjarak. Membagikan
kisah pilunya, saat kehilangan buah hati di usia balita. Kejadiannya sudah
lama, tetapi begitu membekas di hati.
“Duh, itu benar-benar kehilangan yang sehilang-hilangnya” saya merasakan kesedihan yang sangat.
Dari penekanan
kata hilang, yang ditulis ulang tiga kali. Cukuplah bagi saya, menyimpulkan
dalamnya rasa kehilangan itu.
Saya ayah, sedihnya bukan main saat anak sakit. Anak yang sakit, saya yang tidak bisa tidur dan tidak bisa menelan makanan. Apalagi teman yang buah hati yang lahir dari rahimnya. berpulang selamanya. Sedihnya pasti berlipat- lipat, rasa sedih yang tak hilang sepanjang umur.
Teman ini
melanjutkan cerita, bahwa pelayat yang menasehati bersabar. Justru membuatnya
berontak, mengingat tak ikut menanggung kesedihan itu.
Apalagi kalau si penasehat, belum pernah berada di posisinya. Yaitu anaknya tiada, padahal saat sedang lucu- lucunya. Tetapi teman ini memaklumi, pelayat pasti bingung berucap apa.
Masih menurut
pencerita, orang yang sangat sedih butuh penguatan. Penguatan yang manjur
berupa doa, dibanding sekadar ajakan bersabar. “Semoga ananda tenang
disisi-NYA, di akhirat menjadi penolong ayah bunda”, “semoga ayah dan ibu
dianugerahi ketabahan”, dan doa lainnya.
Saya termasuk orang, yang berujar “yang sabar ya” pada teman/ kerabat sedang berduka. Karena umumnya demikian, seperti semacam formalitas.
Sejak mendengar
cerita itu, ketika melayat saya pilih menyampaikan doa. Pun saat berkomentar,
di akun medsos yang menyampaikan kabar duka cita.
--- ---
Ketika scroll IG
Story, ada satu akun yang membuat saya pause. Sebuah story berupa tulisan
“Seandainya sabar itu ada ilmunya”. Saya kenal pemilik akun, menyauti dengan
balasan “ilmu sabar itu pada laku bukan teori.
Mengejawantahkan kesabaran, tidak bisa dengan membaca buku kemudian menyarikan. Sabar hanya bisa diselami, oleh orang yang telah memraktekkan. Seakademis atau seintelek apapun, kalimat dirangkai untuk mendefiniskan sabar. Niscaya tetap terasa kering, tidak sanggup mewakili perasaan.
Ilmu Sabar itu
pada Laku Bukan Teori
Saya pribadi mengakui,
masih jauh dari kriteria sabar. Ego masih sering meluap, tak tahun berkomentar
kalau tidak sepaham. Kerap nyeletuk atau menyaut, kalau tidak terima omongan
orang.
Sikap takabur sangat
mudah muncul, entah disadari atau tidak menyelip sedemikian halusnya. Kalau ada yang bilang saya terkesan rendah
hati, tak jarang perasaan sedang disergap keinginan dipuji. Dan sikap tak
terpuji lainnya.
Maka saya sangat menyepakati, bahwa setiap manusia itu sebenarnya pendosa. Potensi berbuat dosa ada di setiap hela nafas, berkat kegigihan setan yang menggoda dengan berbagai cara dan muslihat. Agar manusia tersesat dari yang lurus, beralih bergelimang jalan kebathilan.
Penting manusia
mengilmui diri, dengan ilmu bisa mengelola kehidupan. Dengan ilmu manusia paham,
bagaimana semesta bekerja. Bagaiamana syariat ditunaikan, demi kemaslahatan bumi
dan seisinya.
Bahwa
kemanfaatan yang diperbuat di alam fana, kelak menjadi amal saat penghisaban.
Dan alam baqa, adalah sebaik-baik tempat pembalasan.
---
Masa pandemi , mengantarkan hikmah sangat luar biasa. Ujian kesabaran terpampang di depan mata, saya merasa sampai di titik nadir. Ujian kesempitan, ujian kesehatan, ujian keimanan, yang (mau tak mau) musti dihadapi dengan kesabaran.
Saya seperti diingatkan tentang kesabaran, yang dikisahkan oleh teman SMA. Dan nasehat bersabar dari kenalan atau orang dekat, rasanya tidak membantu dan ingin memberontak.
Demi
menentramkan hati, sesering mungkin saya memutar murotal dan atau menyimak
kajian dari yotube. Hal demikian sangat efektif, meredam sedih dan
membangkitkan pengharapan. Segala cara menghibur diri saya lakukan,
perlahan-lahan sedih mulai bisa ditepiskan.
Hal tak dinyana saya alami, ego yang dulu meluap-luap, kebiasaan suka nyaut ucapan orang lain, meluntur. Saya sangat mensyukuri hal tersebut, bahwa ujian yang didatangkan Alloh demi kebaikan hamba-NYA.
Teman-teman , yang diuji kesempitan, kesehatan, atau ujian apapun yang memilukan. Saya melangitkan doa dengan sungguh, semoga bisa
mengambil hikmah besar dibalik semua ujian itu.
Betapa Sang Pemilik, sedang memroses hamba dikasihi menjadi hamba yang lebih baik. Hamba yang kafah, agar menebarkan kebaikan dan kemanfaatan. Dan menjadi sabar itu, ilmunya hanya bisa diraih dengan praktek. Wallahu’alam bishowab- semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA