Home

17 Jan 2023

Aku Berguru pada Ayah dan Ibu


Saya dari keluarga kebanyakan, ayah ibu dengan enam anak laki-laki. Sang Kepala keluarga, adalah guru di Sekolah Dasar. Sedang ibu membuka warung di sudut pasar kampung, untuk membantu menopang perekonomian keluarga.

Saya masih mengingat dengan jelas, rekaman kejadian masa silam, ketika masih berseragam merah putih. Ketika kami berenam anak, musti membayar uang sekolah beruntun. Begitu kelimpungan orangtua, mencari jalan keluar atas masalah dihadapi. 

Ibarat kata kepala dijadikan kaki, dan kaki dijadikan kepala, sungguh mereka berdua mengalami. Ibu menambal kebutuhan, dengan meminjam sana sini. Meski mengalami penolakan, tapi geming dengan tekadnya mencari ke sumber lain.

Sampai satu pagi yang basah, ketika hujan semalam belum juga kering. Terbetik kabar, ibu terpeleset dan jatuh ke sungai kecil.  Berita disampaikan penjual tempe, yang memergoki kejadian itu, bersamaan dia sedang berangkat ke pasar.

Kejadian itu, saat anak sulung hendak mengambil formulir pendaftaran masuk perguruan tinggi. Sementara uang di kantong sedang tiris, dan tak ada jalan instan lain kecuali meminjam tetangga. Pagi buta ketika uang didapat, bergegas mengejar waktu si sulung berangkat ke kota.

"Bu, kakinya kok berdarah?" tanya saya

"enggak apa-apa, kena pisau"

Jawaban yang masuk akal, tak bersambung ke pertanyaan berikutnya. Kisah terpelesetnya ibu di sungai kecil, disimpan rapat sampai detik ini. Pun ketika saya kulik, kesaksian tukang tempe. Ibu bersikeras, tak mau membagi kesedihan.

"Tukang tempe, salah lihat kali "

-00o00-

Lelaki paruh baya bersafari biru muda, wajahnya teduh merangkum pedih. Langkahnya mengayun pelan tapi pasti, menyusuri jalan bebatuan landai dan menanjak. Hangat sinar matahari, beradu hawa desa cemerlang,

Pepohonan rindang, hamparan padi hijau kekuningan. Saksi bisu, di setiap berangkat dan pulang. Lelaki dengan bertahun-tahun menempuh, rute ke dan dari sekolah di desa sebelah. Meski ada angkutan desa, nyatanya berjalan kaki dipilih demi penghematan. 

"Pak, teman kampus banyak yang pakai motor" cetus sulung

Si ayah manggut-manggut pelan, berpikir mencari cara mewujudkan. Sebulan kemudian, motor tua dengan tangki warna biru muda. Nangkring di sudut teras rumah, menjadi barang termahal dimiliki keluarga sederhana.

Senyum sulung mengembang lepas, memperlihatkan deretan gigi tak teratur. Ayah dengan senyum tertahan, seolah menyembunyikan beban ditanggung. Sejak hari kedatangan motor buntut, tak pernah dinaikinya.  Setiap pagi, dibawa anaknya ke kampus di kota karisidenan. Sementara dirinya, megalah dan tetap berjalan kaki.

Keadaan memaksa orang tua lebih berhemat, demi bisa melunasi cicilan sampai sekian tahun ke depan.

Aku Berguru pada Ayah dan Ibu

Dua wajah menua, duduk di kursi sisi kiri panggung pelaminan bungsunya. Suami istri, nyaris setengah abad menempuh perjalanan. Pernikahan ragilnya, merampungkan tugas mengantar anak-anak. Kini mereka sepasang kakek nenek, dengan selusin cucu pelipur hati. Bahagia nestapa dihadapi, toh kedua keadaan didatangkan silih berganti. Setiap bertambah waktu, mengukuhkan jalinan cinta.


Aku berguru pada ayah dan ibu, belajar kesetiaan, pengertian, saling menghargai, dan tanggung jawab. Aku lelaki belum separuh perjalanan. Tertatih mengeja, setiap peristiwa kehidupan. Aku ragilmu, di garis permulaan hadapi onak duri dan badai.

Bercermin pada ayah dan ibu, membulatkan keyakinan. Bahwa setiap kita, akan mampu dan dimampukan menempuh segala ujian lehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA