11 Mar 2018

Menulislah dan Biarkan Tulisanmu Mengikuti Takdirnya (Buya Hamka)



dokumentasi pribadi

Bahwa setiap tulisan membawa nasibnya, saya meyakini hal ini. Tulisan ibarat hasil kontemplasi, lahir dari rahim pemikiran penulisnya.

Sajak “Aku” karya Chairil Anwar, novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Buya Hamka, kitab “Mukaddimah Ibnu Kaldun” karya Ibnu Kaldun dan seterusnya.

Adalah contoh (beberapa) nama-nama tulisan, yang telah menemukan takdirnya –berumur panjang dan dikenal banyak orang--.
Sementara tulisan saya (si penulis amatir dan abal-abal ini), tentu memiliki takdirnya sendiri (cepat dilupakan pembaca, hehehe).

Setiap tulisan, baik masih dalam bentuk konsep, baru dituangkan dalam bentuk sangat awal—musti direvisi total--, masih ngumpet (baca ; disimpan) di draft alias belum dipublish dan seterusnya dan seterusnya.
Niscaya, kelak memiliki takdir sendiri-sendiri. Layaknya bayi yang baru lahir, sebuah tulisan membawa suratannya masing-masing.
dokumentasi pribadi
00o00
Masanya ngeblog tengah berlangsung, dunia tulis menulis (blog) membuka pintunya bagi siapapun untuk menjadi penulis.

Fenomena ini –rupanya -- ditangkap berbagai pihak, menggunakan jasa blogger untuk mendongkrak brandnya.
Perhatikan, aneka writing contest atau blog competition kerap digelar. Dalam hitungan hari, selalu saja ada pengumuman lomba menulis.

Mulai dari Perusahaan Swasta, Kantor Kementrian, Perusahaan Property, Perbankan, Restoran, Lembaga sosial dan nirlaba (NGO) dan lain sebagainya.
Blogger menjadi alternatif promosi yang efektif, --bisa dibilang—dari sisi budgeting relatif lebih ekonomis dibanding media promosi konvensional.

Hadiah disuguhkan –untuk blogcomp-- cukup menggiurkan, mulai dari pulsa senilai ratusan ribu, voucher belanja, voucher menginap di hotel, produk si pembuat lomba, gadget atau barang elektronik, uang cash, jalan-jalan, sampai mobil seharga ratusan juta.

Hadiah-hadiah tersebut, pasti sangat menarik minat blogger untuk mengikuti. Si Blogger mencari ide terbaik, menuangkan dalam bentuk tulisan.

Sayapun demikian, kerap kepincut dengan hadiah lomba yang ditawarkan. Selanjutnya mengerahkan segenap upaya dan kemampuan, demi melahirkan tulisan terbaik –menurut diri pribadi.

Tak sekedar mempersembahkan tulisan terbaik, semanggat hunting foto sebagai pendukung artikel, wawancara dengan narasumber kredibel dilakukan.
Bahkan kalau diperlukan, tak segan membuat video, agar tulisan yang disajikan semakin yahud dan maksimal abis.

Sengaja tulisan dipublish mepet DL—berharap ide tidak ditiru peserta lain--.Jadi jangan kaget, menjelang DL (biasanya) peserta lomba menulis melonjak drastis.

Daaaan, hasilnya..... deg-deg,... deg-deg,... deg-deg... membuka link pengumuman pemenang, rasanya deg- degan luar biasa.
Siapa yang bakal menjadi pemenang, ibarat teka-teki yang cukup mendebarkan.

Mungkin anda, saya dan kita semua, (tentu) sudah berusaha semampunya. Serangkaian usaha keras—demi lomba-- dikerahkan, ternyata hasil tidak seperti diharapkan.

Yaaah, Kalah. Begitu mengetahui, nama sendiri tidak tercantum sebagai pemenang. Jangankan pemenang utama, hadiah hiburan saja tidak nyangkut.

Namanya juga manusia, pasti tidak bisa disangkalkan, jika ada rasa kecewa menyeruak. Perasaan kecewa adalah hal yang wajar, tentu sangat manusiawi

Selajutnya, mau kecewa berkelanjutan dan berhenti menulis—jangan dong--. Atau segera melupakan kekalahan, kemudian bangkit lagi.
Setiap pilihan sikap, sepenuhnya bebas di tangan kita masing-masing. Namun semestinya, kekalahan seharusnya menjadi cambuk untuk belajar lebih giat.

Saya pernah mendengar sebuah petuah dari alim ulama, "Kalau sudah berusaha dengan keras, sunnah yang didapat adalah keberhasilan.  Namun, kalau ternyata kenyataannya belum berhasil, berarti ada orang yang yang berusaha lebih keras dibanding kita.

Saya punya keyakinan, keberhasilan sebuah tulisan (yang dilombakan). Adalah, bagaimana si penulis bisa menangkap selera dan kemauan si pembuat lomba.

Masalah menang atau kalah, tidak bisa menjadi (satu satunya) indikasi baik tidaknya sebuah tulisan. Saya pernah punya pengalaman, suatu saat tulisan saya dinyatakan kalah dalam sebuah lomba.

Setelah beberapa bulan periode lomba berlalu, kunjungan dari tulisan tersebut masih saja mengalir. Bahkan dalam beberapa minggu, memberi konntribusi traffic pembaca yang lumayan.

“Analogi paling sederhana, bisa kita saksikan bersama-sama. Saat ini marak, ajang pencarian bakat nyanyi digelar sejumlah stasiun televisi.

Setiap kontestan, dikomentari dan diberi masukan oleh juri yang sudah malang melintang di dunia musik.
Hingga beberapa waktu kontest berjalan, satu persatu peserta gugur, mengerucut pada satu nama sebagai pemenangnya.

Setelah kontes berakhir, kita dapati fakta di lapangan berbicara. Nama kontestan yang bukan pemenang di ajang tersebut, justru paling moncer karirnya.”

Memang, kita tidak bisa berpatokan pada satu peristiwa saja. Kekalahan dan atau kemenangan sebuah tulisan dalam sebuah lomba, tidak ada kaitannya dengan kelanjutan nasib tulisan dan atau penulisnya.

Siapa yang tekun dan bersedia mengasah tulisannya, niscaya akan menemukan keadaan yang tidak disangka.

dokumentasi pribadi
Menulis Menulis dan Menulislah
Saya pernah membaca, kisah Thomas Alfa Edison. Pemuda yang hidup di abad XVIII, namanya terpatri dan dikenang sampai sekarang.

Semasa kecil, Edison kerap mendapat nilai buruk di kelasnya. Ibunya memberhentikan dari sekolah, kemudian mengajari sendiri anak yang dikasihi.

Edison menjadi pribadi yang tekun, jatuh bangun berulang kali dalam sebuah percobaan. Penelitian demi penelitian dijalani, laksana mengalahkan ego pribadi tanpa kenal menyerah.

Buah dari pemikiran lelaki gigih ini, lahirlah berbagai penemuan. Satu penemuan paling mengguncangkan dunia, adalah ditemukannya bola lampu (bohlam)

Siapa nyana, penemuan spektakuler kala itu, dirasakan manfaatnya oleh umat manusia hingga lintas jaman.
Bayangkan, kalau Edison ---misalnya--menyerah pada kegagalan percobaan ketiga. Bisa jadi, bola lampu ditemukan oleh nama lain.

Satu kalimat Edison yang cukup inspiratif, “Jenius adalah satu persen inspirasi, sembilan puluh sembilan persen perspirasi.”

Pun seorang penulis, agar melahirkan karya yang baik, tak ada jalan lain kecuali menulis, menulis dan menulis.
Kita tidak akan pernah tahu, pada tulisan ke berapa, akan lahir sebagai tulisan yang layak dan mendapatkan apresiasi pembaca.

Sebaiknya, jangan jadikan menang kalahnya tulisan kita dalam lomba. Sebagai parameter, bahwa sebuah tulisan pantas dicap baik atau tidak baik.

Oke, kesannya  memang untuk menyenangkan diri. Namun, sikap demikian sebagai strategi melecut semangat diri sendiri.
Yakinlah, bahwa kekalahan dan kemenangan sebagai hal yang sangat biasa. Tidak perlu disikapi berlebihan, apalagi sampai mematahkan semangat.

Toh, kalau sudah berupaya keras dan tetap kalah. Setidaknya ada kepuasan batin, bahwa kita sudah memberi usaha terbaik yang dimiliki.

Nasib sebuah tulisan, tentu bukan penulis itu sendiri yang menentukan. Upaya sungguh-sungguh si penulis, akan memberi andil bagi keberhasilan tulisan tersebut.

Selama nafas masih dikandung badan, jangan pernah berhenti belajar. Menulislah, menulislah dan terus menulislah.
Urusan tulisan itu diapresiasi atau tidak, biarlah nasib dari tulisan itu yang akan berbicara.

6 komentar:

  1. saya selalu menulis dengan sepenuh hati karena saya memang hobi menulis dan membagikan khayalan saya dalam sebuah karya..

    BalasHapus
  2. Saya setuju mas.. Lomba kan hanya ajang pengasahan diri, dan itu pun keputusan beberapa juri, bukan pilihan para pembaca yg ribuan hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul kak, jadi jangan terlalu baper ya :) trimakasih kunjungannya

      Hapus
  3. Setuju banget, pada akhirnya setiap tulisan memiliki takdirnya sendiri..

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA