Home

11 Feb 2016

Kenangan & Mitos Gerhana Matahari Total Tahun 1983


Illustrasi Laskar Gerhana dipinjam dari Blogdetik
Kala itu tahun 1983, saya masih duduk di kelas 2 Sekolah Dasar (Awas, Jangan coba hitung apalagi tanya umur yak, Please Hehe). Pengumuman di RRI dan TVRI tentang peristiwa Gerhana Matahari Total (GMT), benar-benar membuat hati was-was. Kami teman sepermainan, membicarakan GMT sebatas nalar bocah kecil.
"Srengengene arep dipangan Buto Ijo"* ujar Suwito teman sebangku yang suka berkisah horor
(mataharinya akan dimakan buto/ raksasa warna hijau)

Lelaki berbadan tambun dan padat ini berpesan, "Ojo metu omah, ben ora dipangan buto"*
(jangan keluar rumah, biar tidak ikut ditelan raksasa)
Celakanya, kami yang mendengar mempercayai termasuk saya. Setiap malam hendak tidur, makhluk tinggi besar berbadan hijau seperti menempel di kepala. Gigi hitam, runcing dan tajam, hendak memasukkan bola matahari dalam mulutnya (Hii Seremm).
Kalau saja saat itu ada FB atau twitter, mungkin kisah Buta Hijau menjadi tredding topic selama sepekan. Suwitopun tak bosan-bosannya, bercerita hal yang sama dengan bumbu sedikit berbeda. Kami teman sebaya, tetap saja penasaran meski perasaan takut menyertai.
Sementara para orang tua, yang sebagian besar petani dan pegawai rendahan mewanti-wanti anaknya. "Ojo sampek metu yo le, engkok wuto motone"*
(Jangan keluar rumah (saat GMT), bisa buta matanya)
Tak ayal GMT, membuat gempar kampung kecil di kaki gunung lawu ini. Cerita-cerita mitospun bertebaran, terutama dari kalangan kaum tua terutama. Mereka yang usainya 60 tahun ke atas, masih memegang hal-hal klenik alias mistik. Menjelang hari H GMT, sesajen dipesiapkan (almh) mbah putri saya.
Masih lekat di ingatan, saya dibawa ke bawah pohon besar di dekat sumber air. Pohon keramat ini menjadi tempat persembahan, apabila ada peristiwa yang dianggap Magis. Saya yang masih tak paham, sempat bertanya "mbah buto kan makan matahari kok ini dikasih nasi ama lauk".
Wajah mbah Putri mendadak berubah,"Huss, kowe ojo sembarangan takon (tanya), kualat mengko (nanti)" bola matanya seolah hendak meloncat keluar.
Gertakkan yang manjur, membuat nyali ini ciut tak lagi berani bertanya lebih jauh.
11 Juni 1983
Hari luar biasa tiba, sedari pagi ayah terlihat paling sibuk. Kami anak-anaknya hanya melihat, apa yang dikerjakan lelaki berkulit gelap ini. Genteng kaca ditutup plastik hitam. Jendela kaca dilapisi koran. Sela-sela dinding kayu yang lubang, langsung ditambal dengan lakban gelap.
Alasannya satu, cahaya matahari menyebabkan mata buta.
"Awas yo, jangan sampai lihat matahari waktu gelap nanti" pesan ayah terasa menghunjam
Televisi hitam putih 14 inch menyala, menayangkan siaran TVRI saluran satu-satunya. Tetangga yang tidak punya TV, datang ke rumah ikut menonton siaran langsung GMT. Perlahan tapi pasti, seperti mengalami gradasi warna dari terang menuju gelap. Kami sekeluarga berada di dalam rumah, bahkan mengeluarkan suara tak berani.


GMT 2016
Setalah usia bertambah dan masa jauh berlalu, tersiar kabar GMT akan terjadi lagi pada Maret 2016. Saya ayah dari dua anak, menyikapi beda dengan orang tua dulu. Informasi bisa diperoleh dengan mudah, baik melalui media cetak, website, blog , Radio, televisi.
Melek Pengetahuan, itu kuncinya.
Saya kebetulan gemar membaca, terbiasa menelisik informasi sebelum "menelannya". Termasuk pernyataan Thomas Djamaludin, seorang Peneliti Utama Astronomi dan Astrofisika Lapan, bahwa GMT adalah fenomena luar biasa, namun bukan kejadian penuh bahaya.
Semua memang ada strateginya, sehingga tetap diperlukan sikap hati- hati. Pria lulusan Kyoto University menyatakan, pada saat gerhana sebagian secara refleks mata terasa silau. Melihat secara langsung pada matahari, adalah sangat berbahaya. Sementara saat GMT, justru matahari dapat dilihat secara langsung tanpa memakai kacamata atau filter.
Sebentar !
Tapi kenapa saya mendadak gentar, membuktikan bahwa melihat matahari langsung saat GMT tidak bahaya. Pikiran saya terngiang pesan ayah, "Awas yo, jangan sampai lihat matahari waktu gelap nanti"
Ah itu hanya kekawatiran semata, toh ilmu pengetahuan telah meluruskan. Tapi ajakan menjadi Laskar Gerhana kiranya cukup menarik, sekaligus sebagai ajang pembuktian bahwa GMT tidak seseram mitos yang saya bayangkan. (salam)

4 komentar:

  1. saya sudah SMP waktu itu.... jangan di hitung juga lo pliiiiss hehehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak diitung kok Mbak Avy hehhe
      *njupukkalkulator*

      Hapus
  2. Aku belum lahir sih, Pak. Tapi mitos buto ijo itu juga pernah aku alami kalo ada gerhana bulan waktu kecil. Orang sekampung ribut mukul2 segala panci segala bunyi2an pokoknya dan bayangaku memang buto ijo yang bentuknya gak tahu rupa lagi makan itu bulan. hehehhe.... anak2. :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul Mbak Imas
      mitos GMT sama dengan Gerhana Bulan.
      mukul alat dapur, konon agar buto ijo ga suka bunyi2an berisik
      jadi biar cepat pergi :)

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA