Menurut teori Malcolm Gladwell, orang yang mengerjakan satu bidang pekerjaan secara berkesinambungan hingga 10.000 jam, niscaya menjadi ahli di bidang digeluti.
Pengulangan satu kegiatan setiap hari, bisa menjadikan sebuah kebiasaan. Dan kalau sudah terbiasa, dikerjakan tidak lagi sebagai beban. Menjadi bagian dari keseharian.
Semakin sering mengerjakan satu hal, kita dibuat paham mengetahui celah salah. Sehingga hasil didapat, bisa
mendekati sempurna. Waktu yang akan menjawab, siapa yang sungguh- sungguh dan yang hanya main main.
Prosesnya memang dibutuhkan kesabaran, aneka ujian datang berpotensi menggagalkan. Namun di hadapan orang tekun, setiap uji coba kan diatasi.
----
Saya punya langganan penjual gado gado, si ibu meracik sambal kacang tiada dua. Saking enaknya sambal, membelinya musti antre panjang. Pernah saya coba membelli di penjual lain, rasa sambalnya jauh berbeda.
Ada lagi penjual sate ayam di daerah santa, empuk dagingnya tak terkalahkan, sambalnya pas di lidah. Kemudian rujak cingur di Bintaro, tahu campur dan Pecel Madiun seberang RS Fatmawati, adalah daftar makanan enak lainnya.
Mereka bersetia di jualan masing- masing, komit terhadap yang dikerjakan. Sehingga khusus jenis makanan bagiannya, mereka dikategorikan ahli. Mereka mencapainya tidak instan, butuh kesabaran tak terukur.
Kesuksesan instan, ibarat ayam potong yang besar karena disuntik. Badannya gemuk tapi bobotnya enteng, dagingnya gembur tak berotot. Harga daging ayam potong jauh lebih murah, dibanding ayam kampung yang berdaging liat.
Manusia agar berkualitas dan tahan banting, musti menyediakan diri dan sibuk berproses, agar menjadi pembelajar dan pejuang tangguh. Bagi para pejuang, pada saatnya akan memasuki ruang pencerahan bernama ilmu.
----
Manusia memiliki banyak keterbatasan, termasuk dalam hal mengingat. Tak jarang manusia, lupa pada ucapan atau janji dicetuskan. Pepatah familar terdengar, "ujung pena lebih tajam dari ingatan".
Sepintar apapun kita tetap punya keterbatasan, daya ingatnya memiliki masa. Semakin bertambah usia, kemampuan mengingat menurun.
Dan menulis adalah solusi, agar ingatan terpatri. Bahwa ilmu yang ditulis, ibarat mengukir sebuah prasasti. Seperti wasiat Ali Bin Abi Thalib, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya".
Setiap orang bisa menjadi penulis, karena setiap manusia memiliki pengalaman berbeda- beda. Punya sudut pandang unik, tak dimiliki orang lain. Untuk tema yang sama, bisa jadi pemilihan diksi, penggalan kalimat dan alur cerita tak sama.
Semakin sering menulis, terasahlah kepekaan mengolah cerita. Seperti ibu gado-gado, tukang sate ayan, penjual rujak cingur
dan tahu campur langganan. Insting mereka terasah, bisa tepat mengira-ngira takaran bumbu.
Sementara tulisan adalah cara mengikat indahnya ilmu, dengan menulis bisa mengantarkan gerbang pengetahuan baru.
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA