Menjejakkan kaki di Pelabuhan Sunda Kelapa, ingatan saya seperti ditarik ke masa jauh ke belakang. Kepada kisah epic Fatahilah, yang mengusir Portugis dari Pelabuhan tersibuk di Asia Tenggara kala itu. Fatahilah, dikenal sebagai pendiri kota Jayakarta (kota kemenangan), sekarang Jakarta.
Saya datang tidak sendiri, bersama Komunitas Blogger yang mengadakan visit di akhir bulan. Tujuannya adalah Pelabuhan Sunda Kelapa, kemudian menyebrang ke Museum Bahari.
----
Pelabuhan Sunda Kelapa, adalah pintu gerbang sebuah wilayah berkedaulatan. Bangsa Portugis ingin menguasai bumi nusantara., masuk melalui Pelabuhan internasional terkemuka ini.
Empat abad silam, Sunda Kelapa disinggahi kapal-kapal dari berbagai daerah di Nusantara maupun mancanegara. Menjadi Bandar terpenting kerajaan Pakuan Padjajaran, keberadaannya disegani dan diakui dunia.
Kedatangan kaum asing, selain berdagang juga menyebarkaan agama. Cina dan India banyak mengirimkan pemuka agama Hindu maupun Budha, sedangkan Persia dan Turki berdagang dan menyebarkan agama Islam di abad 13.
Ya, di tengah hiruk pikuk Jakarta yang modern. Berada di Pelabuhan Sunda Kelapa, saya merasakan atmosfir masa silam. Kapal layar berjajar rapi, pekerja mengangkat barang dikirim ke berbagai daerah.
Pinisi Nusantara yang megah buatan
Bugis, Makassar Sulawesi Selatan., bisa saya saksikan dari jarak dekat. Ada juga versi lebih mudanya, dibuat untuk pameran di Vancouver Kanada tahun 1986.
Kapal pinisi versi baru, pernah menempuh 11.000 mil laut selama 68 hari. Dinahkodai Captain Gita Arjakusuma dibantu 11 anak buah kapal (ABK), menjadi pembuktian ketangguhan Indonesia di dunia bahari.
Puas mengambil gambar, kami bergeser ke Musem Bahari. Dengan jalan kaki, tak sampai sepuluh menit tiba di tujuan. Museum Bahari, dulunya adalah gudang tempat menyimpan rempah. Rempah-rempah dari berbagai daerah di Nusantara, di tampung di gudang khusus.
Selanjutnya didistribusikan VOC, ke berbagai negara di seluruh dunia. Rempah Nusantara menjadi rempah favorit, menjadi rebutan bangsa Eropa. Lada, kapulaga, mungsi, cengkeh, kemiri dan masih banyak jenis rempah lainnya. Memantik nafsu bangsa asing, ingin menguasai tanah Surga Indonesia.
Di museum Bahari, saya saksikan koleksi kebaharian. Aneka jenis kapal (dalam ukuran mini) tertata rapi, di lantai dua terdapat diorama menggambarkan suasana sekian abad silam.Menyusuri museum bahari, saya dibuat terkagum-kagum kegeniusan nenek moyang. Kapal kapal tangguh dan perkasa, terbukti sanggup mengarungi samudra melawan ombak badai.
Rasanya tak berlebihan, kerap didengungkan slogan “NKRI harga mati”. Para nenek mmoyang dan founding father, memperjuangkan negara sampai titik darah penghabisan.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA