Home

14 Sep 2016

Kuliner "Ndeso" Tapi Ngangeni


Setelah hampir seperempat abad jauh dari tanah kelahiran, belum penah saya jumpai makanan khas kampung halaman. Kampung terpencil yang asri dan damai, perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Secara teritorial berada di wilayah Kabupaten Magetan, kota ini sempat menanjak nama ketika sosok Dahlan Iskan kala itu menjadi mentri.
Mbah pemilik angkringan - dok group WA
Kuliner ini benar-benar khas, belum saya jumpai meski dimanapun termasuk ibukota Jakarta. Sampai saya menaruh curiga, jangan jangan hanya di Magetan diolah makanan khas ini. Setiap kali bersua kawan lama di medsos, tak ayal kekangenan kampung halaman menyeruak. Saat  membahas tentang kuliner, makanan jenis ini menjadi bahan obrolan.
Satu teman yang masih bermukim di Magetan, berbaik hati pergi ke angkringan membeli seporsi dan difoto. Tak ketinggalan nenek penjualnya, dijadikan obyek bidikan fotografer amatir. Semakin sempurna kekangenan, pada kampung halaman dan makanan masa lalu.
Konon empunya warung satu garis keturunan, resep bumbu rahasia diwariskan secara alami. Saat anak pemilik angkringan menginjak remaja, lazimnya mulai diajak berjualan setiap malam. Sang anak membantu pekerjaan apapun, mulai menggoreng, menyediakan bumbu, menjadi waiters bahkan mencuci gelas dan piring. Nah pada moment panjang inilah, ilmu meramu bumbu ditularkan. Bukankah cara efektif transformasi ilmu, dengan praktek secara langsung.
Seiring perjalanan melihat dan praktek, niscaya mahir menguleg bumbu. Hal ini biasanya dibarengi terbentuk insting, utamnya dalam menakar bumbu. Ketika urusan bumbu yang notabene menjadi ruh masakan dikuasai, pertanda kesiapan sang anak menjadi pemegang tongkat estafet.
Pada tahap ini generasi pendahulu, perlahan bersiap mengambil masa pensiun. Kelanggengan angkringan tak lagi dikawatirkan, mengingat keahlian yang sama sudah dipegang penerusnya.
Adalah tepo tahu, makanan sederhana yang  selalu memantik kekangenan. Setiap kesempatan mudik, makanan murah meriah saya temui usai maghrib. Biasanya dijual diemperan toko yang sudah tutup, tepatnya di seberang lapangan bola atau pasar desa.
Tepo atau istilah populernya lontong, di daerah kami dimasak dengan cara lama menggunakan pawon (tungku). Sejak dulu sampai era kekinian, tampilan tepo begitu konsisten. Berbalut daun pisang, dibentuk seperti piramida bertubuh tambun. Proses masak memakan waktu tak sebentar, tepo "bertapa" dalam kuali gelap berjelaga mulai malam hingga pagi.
Saya pernah melihat Ibu masak tepo, saat anak anaknya pulang kampung. Beras yang sudah dibungkus daun pisang, mulai masuk kuali sekitar jam 20.00 - 21.00 sampai keesokan hari. Pada saat proses memasak tepo, stabilitas api terus dijaga agar tak terlalu kebesaran atau kekecilan. Karena masak dengan tungku, maka sumber panas dari kayu bakar. Nah kayu inilah yang ditarik ulur, sehingga panasnya tetap terjaga. Jangankan saat api masih nyala, pun setelah menjadi bara tingkat panas diperhatikan agar tepo matang maksimal.
Biasanya setelah tepo dinyatakan matang, agar tetap tanak tak segera diangkat dari tempatnya. Kuali dibiarkan nonkrong diatas mulut pawon, sampai bara api padam dengan sendiri. Kalau bara lenyap menjadi abu, barulah tepo siap dientas dari posisi semula. Daun pisang berubah warna hijau matang (seperti bungkus arem arem), rasa tepo menjadi khas karena zat hijau daun (klorofil) menempel di bagian pinggir tepo.
Saat dihidangkan, tepo diiris setengah lingkaran atau persegi empat tak sama sisi. Agar tak terlalu besar, rata-rata ketebalan tepo sekitar 1 - 2 cm. Barulah dicampur seperti serbuk, ditimpa gorengan tahu dan tempe diiris bentuk dadu. Langkah selanjutnya disiram air bawang dan bumbu, kemudian disiram lagi kecap kental manis. Saat kecap berbaur ari bawang, kekentalannya berubah menjadi encer.
Tampilan Tepo Tahu 

Pada bagian penutup, ditaburi bawang goreng, kacang goreng, potongan selada dan tauge. Kalau pengin lebih lengkap lagi, paling atas ditutup dengan telor ceplok (optional). Entahlah kenapa disebut tepo tahu, padahal ada campuran tempe juga. Tahu-tahu saya harus bilang nama itu, karena ibu juga yang memberi informasi.
Masalah harga jangan kawatir, seporsi tepo tahu lengkap tak perlu merogoh kantong terlalu dalam, Satu porsi dibandrol lima atau enam ribu rupiah, kalau tidak pakai telor pasti sedikit dibawah angka tersebut. Harga relatif murah ini cukup konsisten sesuai jaman, dulu tahun 80-an waktu generasi pertama pembuat tepo tahu mematok harga 100 - 200 rupiah. Pada periode 90-an harga berubah sekitar seribu - duaribu rupiah, naik lagi sekitar tiga - empatribu dan update harga sekarang masih tetap digolongkan kategori murah.
Saat ini penjual tepo adalah generasi seusia saya, dulu sang penjual saat SD tiga tingkat di atas saya. Memebli diangkringan tepo tahu, bagi saya adalah nostalgia. Tak hanya menikmati sepiring tepo tahu, tapi berbagi cerita dengan penjualnya.

Mungkin anda juga punyai makanan khas, yang tak didapati di perantauan. Bisa jadi anda bernasib sama, didera perasaan kangen dan terbayang bayang. Dengan kuliner yang kesannya "ndeso", tapi tetap saja ngangeni. 

5 komentar:

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA