Home

12 Jul 2016

Memaknai Mudik dari Masa Ke Masa

Kumpul bareng saudara saat lebaran (dokpri)
Kegiatan mudik sudah saya rasakan hampir seperempat abad, sejak keputusan merantau terpatri dalam hati. Pada awal tahun 90-an usai lulus dari SMU, prosesi mudik saya lakukan dengan begitu praktisnya. Sebagai seorang bujang yang sudah bekerja, terbilang tidak terlalu repot mengatur diri.
Malam menjelang esok sholat Idul Fitri, langsung mencari angkutan kota menuju terminal. Hanya tas ransel ukuran sedang dan tentengan buah tangan, saya berebut bus dengan penumpang lainnya. Berjajar bus antara kota di terminal Purabaya Surabaya, pilihan saya adalah Bus bertulis tujuan kota kecil Magetan.
Kalaupun jurusan kota asal sarat penumpang, mencari alternatif bus jurusan Solo atau Jogjakarta. Badan muda kala itu cukup gesit berpindah pindah, kaki ini lincah meloncat kesana kemari dengan ringannya. Sampai berhasil mendapati satu kursi duduk, yang akan menghantar menuju tempat tujuan. Sebagai pekerja rendahan tak bisa saya pilih bus executive, biasanya bus ekonomi atau kalau terpaksa patas AC menjadi tumpangan. Dalam perjalanan pulang terdengar riuh rendah, suara takbir bersahutan menyambut hari kemenangan datang.
Sejak tak lolos mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negri (UMPTN), saya memutuskan bekerja terlebih dulu. Biaya kuliah di sekolah non negeri yang selangit, membuat hati ini ciut dan kasihan pada orang tua. Tahun kedua setelah memiliki penghasilan sendiri, akhirnya mengambil kelas malam di kampus swasta berbiaya terjangkau. Namun saya tak usai mensyukuri, betapa keadaan mengajari untuk hidup mandiri. Ketika mulai mengantongi penghasilan bulanan sekedarnya, setidaknya sudah tak menambah beban orang tua.
"Biar saja kita hidup pas pasan, yang penting jangan sampai terdengar orang tua" Nasehat kakak tertua suatu ketika.
Petuah ini yang benar saya pegang dalam tekad, tak pernah berkeluh kesah pada ayah dan ibu. Setiap hari pulang kampung tiba, tak pernah tangan ini dibiarkan hampa. Kain bahan kebaya atau mukena untuk ibu, terbungkus rapi menjadi satu dengan baju koko atau sarung buat ayahanda. Kadang kue kue kering dan sirup aneka rasa, menjadi pelengkap oleh oleh menjelang lebaran. Ada perasaan bungah menumbuh di sanubari, saat melihat senyum mengembang dari dua wajah bersahaja.
"Matur suwun yo le, mustinya tidak usah repot bawa oleh oleh segala" ujar ibu
"Kamu bisa pulang saja, sebenarnya sudah lebih dari cukup" ayah menimpali
Biasanya bingkisan yang tak seberapa, akan diganti bahkan lebih saat kembali ke perantauan. Kue kering, kacang telur, abon, atau makanan lain yang awet, terbungkus rapi dalam kardus. Siap diangkut ketika kembali ke rumahh kost, lumayan untuk mengurangi jatah pengeluaran sehari hari.
Tradisi mudik dari Kota Pahlawan terus saya jaga, meski karena pekerjaan yang sepenuhnya tepat waktu. Pernah suatu ketika pulang sore hari usai shalat ied, karena pagi hari masih menyelesaikan tugas. Otomatis sungkem pada orang tua dilakukan sendiri, menyusul setelah kakak sungkem pada pagi hari. Kebiasaan sungkem di keluarga, dilakukan pagi di lebaran pertama. Sedangkan pada lebaran hari kedua, saat beranjang sana ke tetangga dan rumah saudara.
****
Masih pada hitungan awal tahun 2000-an, saya berpindah tugas ke ibu kota. Mudik tetap menjadi tradisi dipertahankan, moda transportasipun mulai berpindah. Kala itu saya masih sempat antre dari subuh, demi mendapatkan sebuah tiket kereta eksekutif. Sahur terpaksa dilakukan didepan loket kereta, menunggu sampai jam tujuh petugas buka. Sholat subuhpun dilakukan bergantian, bekerjasama dengan pengantri yang berdekatan.
Pulang kampung tak sesimple saat dulu, musti dipersiapkan tiga bulan sebelumnya. Budget diatur sedemikian rupa, agar pengeluaran tak sampai kebobolan. Kalau sedang ada rejeki berlebih, memilih yang lebih cepat yaitu moda transportasi udara. Saya mensyukri apapun yang saya alami, persis ketika mudik saat bujangan dengan bus ekonomi.
Betapa perubahan akan terus terjadi dalam kehidupan, selama setiap kita manusia mau berusaha.
Kini setelah kami enam bersaudara berkeluarga, mulai terjadi pergeseran prosesi mudik. Saya bungsu dengan lima kakak, memiliki kesepakatan bersama. Membagi waktu lebaran secara bergantian, dengan keluarga mertua masing masing. Keluarga dari pihak istri menetap, pada kota yang berbeda dengan kampung halaman.
Sehingga satu lebaran kami berkumpul dirumah orang tua, lebaran tahun berikutnya berpisah di rumah mertua masing masing. Khusus keluarga kecil saya biasanya menyiasati, tetap pulang kampung pada dua atau tiga bulan setelah lebaran.  Meski demikian saya tetap mengatur keuangan lebih dini, mengingat empat tiket harus dibeli saat lebaran tiba. Keengganan saya menyetir roda empat jarak jauh, membuat saya tidak menggunakan mobil sebagai sarana mudik.
Dari pulang kampung ke pulang kampung berikutnya, sering saya merenungi perjalanan kehidupan. Mengapa budaya mudik terjadi di negri ini, dan betapa gerakan massal ini mempengaruhi semua sektor kehidupan.
Transportasi mengalami lonjakkan permintaan, kebutuhan bahan pokok apalagi. Pakaian, Makanan, Minuman, Barang Elektronik, Pulsa Celuller, Tempat Hiburan semua diburu oleh konsumen. Setiap orang ingin tampil lebih dari biasanya, memantaskan diri dihadapan sanak saudara. Meski kadang ada yang memaknai lain, dari sekedar mengedepankan nilai nilai silaturahmi. Tak bisa dipungkiri setiap orang berbeda, baik dari cara berpikir pun cara menyikapi keadaan.
***
Inilah kampung halaman saya (dokpri)
Satu hal tak pernah berubah dan selalu saya dapati, adalah senyum tulus dan bahagia dari orang tua. Kini setelah ayanda berpulang ke hadirat-NYA, ibu menjadi pusat kami anak anaknya. Sampai sekarang tidak pernah tangan ini hampa, membawa sekedarnya sebagai tanda bakti dan pengabdian.
Meski sungguh saya meyadari sepenuhnya, apapun yang dipersembahkan tak sanggup membalas kasih orang tua. Kemudian kalimat senada masih saja terdengar ditelinga, menjadi bukti bahwa memang itu yang keluar dari hatinya.
"Matur suwun yo le, mustinya tidak bawa oleh oleh segala" ujar ibu dengan suara parau
Ternyata kalimat belumlah selesai sampai di situ,"Kamu bisa pulang saja, sebenarnya sudah lebih dari cukup" kini kalimat dari ayahanda diucapkan oleh ibu.
Rasa haru seketika membucah, menyaksikan senyum itu mengembang. Garis wajah sepuh yang keriput, tak sanggup ditutupi dan dihindari. Rona bahagia yang sama dan terjaga hadir, setiap mendapati buah hatinya kembali pulang kepangkuan.
Bagi saya mudik lebih dari sekedar pulang, dan bersua dengan orang tua atau handai taulan. Mudik ibarat perjalanan kehidupan itu sendiri, sejauh kaki melangkah akhirnya akan kembali ke muasal. Kampung halaman adalah tanah tumpah darah, yang menghadirkan kekangenan untuk dijenguk kembali.

Setiap manusia kelak pasti akan mudik yang sebenarnya, yaitu pulang kembali ke alam kekal. Almarhum ayahanda saya telah melampauinya, dari mudik di alam fana dan kini mudik yang sesungguhnya. Sudah seyogyanya setiap mudik menumbuhkan kesadaran, bahwa setiap kita akan tiba pada mudik yang sejatinya mudik. (salam)  

2 komentar:

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA