23 Sep 2023

Menyusuri Kuliner Cikini Sembari Mengulik Nostalgi

Saya antusias mendaftar, acara Kompasiana. Gerebek KPK . Tema diangkat “Gerebek Jajanan UMKM di Cikini”, yang saya ketahui banyak warung legendarisnya. Sebut saja Restoran AH di seberang TIM, gado-gado Cikini, roti Tan Ek Tjoan, dan banyak tempat legendaris lainnya. 

Menuju Cikini sangat mudah, saya yang naik Commuter Line, cukup sekali nge-tap (Rp 3. 500,- dari Stasiun Pondok Ranji turun Stasiun Cikini).  Dan sesuai brief, pasukan KPK gerebek berkumpul di restoran siap saji. 

Setalah foto-foto satu team lengkap, kami menyebar berburu kuliner yang dijual UMKM. Saya dan mas Bule ke arah TIM, agar warung dan makanan dibeli tidak sama dengan peserta lain.  Menyusuri jalanan di Cikini Raya, saya seperti diajak kilas balik ke puluhan tahun lalu. 

Kali pertama merantau di ibukota, berkantor di daerah Kebon Sirih. Kalau suntuk dengan kerjaan, saya nomat atau nonton pentas kesenian di TIM. Dan khusus kuliner di Cikini, dulu saya langganan pecel khas Madiun di sebuah warung tenda. 

Warung di sudut jalan gang, sambal kacangnya medhok sangat pas di lidah jawa saya. Dan saya sengaja mencari keberadaan warung klangenan ati, tapi warung dicari tiada, entah pindah, entah tutup dan tidak jualan lagi.

Tempat yang dulu rutin saya sambangi, banyak berubah. Warung beratap terpal enyah, berganti bangunan semi permanen. Selain lebih modern, juga lebih bersih dan tertata rapi. Niat makan nasi pecel sayur diurungkan, dan beralih mampir ke warung yang ada. Makan menu sesuai ketentuan panitia, jadi peserta manut biar diajak kegiatan selanjutnya—hehehe

----

 


Akhirnya saya ke warteg Rapih Jaya. dengan menu khas warung tegal tersaji. Saya memesan nasi putih, sayur bayam (atau sayur bening), kentang balado, dan telur asin. Sementara untuk minum, memilih teh tawar hangat.

Dari sisi rasa untuk ukuran saya lumayan asin, terutama untuk kentang baladonya. Lebih-lebih setelah dimakan bareng telur asin, asin ketemu asin –salah saya juga sih. Untung sayur bayam ada di mangkok berbeda, rasa asin ditutup dengan kuah berlimpah.

Setelah makan berat, kami hunting makanan kedua. Mas Bule membeli roti Tan Ek Tjoan, untuk camilan untuk nonton bola malam hari. Saya memilih membeli rujak buah, yang gerobaknya ngetem di depan warung Ampera.

Dari kotak plastik bening, tampak irisan mangga, jambu air, jambu crystal , dan nanas ditata rapi. Dibandrol diharga 15 ribu, lengkap dengan sambal rujak dan garam lembut. Selain rujak buah ada rujak bebek (huruf “e” dibaca seperti benalu), dari tampilannya saya kurang tertarik.

Hari menjelang sore, di sudut Cikini saya menikmati suasana. Hilir mudik kendaraan pribadi, berbaur dengan mikrolet (jak Lingko), Bus (transjakarta), bajaj, opang dan ojol. Meski tak seramai sebelum pandemi, denyut Jakarta masihlah terasa.

Saya merasa tergulung ombak waktu, menjumput jejak masa lampau di sepanjang jalanan Cikini. Bangunan lama, tempat ikonik Jakarta, kuliner melegenda, semua menderap bersama berlalunya waktu. Aku, di usia yang terus meninggi hari ini. Mencoba menyusuri kuliner Cikini sembari mengulik nostalgi.  

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA