8 Agu 2015

Cara ODHA Menghindari Diskriminasi



Scientists at the Oregon Health and Science University have announced a positive step towards finding a cure for HIV (Image: Shutterstock)
Diskriminasi adalah sebuah akibat dari sebuah sebab,  ibarat bencana banjir perlu diketahui musababnya. Bisa saja banjir disebabkan pendangkalan dasar sungai, atau penumpukkan sampah di aliran air, atau bisa jadi berkurangnya daerah resapan air. Setelah dikenali dan diketahui penyebab banjir  baru mencari solusi, bagaimana mengatasi dan kemudian mencegah agar tidak datang kembali. Pada tahap mencegah butuh upaya panjang berkesinambungan, agar akibat demi akibat yang datang kemudian hari tidak akan terjadi.
Diskriminasi biasanya terjadi karena ketidaktahuan dan minim informasi, banyak aspek yang terjadi dibalik ketidaktahuan tersebut. Entah karena akses mendapatkan informasi sangat sedikit, atau karena latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan yang tak memungkinkan melek pengetahuan.
Tapi siapa berani menjamin orang berpendidikan lepas dari sikap mendiskriminasi, mungkin karena faktor tak mau ambil resiko (dalam kasus ini dekat dengan ODHA).
Seperti pada artikel saya sebelumnya, Peran blogger menepis stigma AIDS sanksi sosial begitu berat. Petugas kesehatan (dokter, perawat) atau bahkan mahasiswa, masih ada perasaan enggan berdekatan dengan ODHA. Beberapa artikel rujukan yang saya jadikan bahan bacaan, ternyata sikap petugas kesehatanpun juga cukup beralasan. Dokter atau perawat dan petugas rumah sakit yang menangani ODHA,  "terseret" juga tak lepas dari diskriminasi dari lingkungan atau masyarakat.  Tak perlu mencari dari mana "lingkaran setan" ini dimulai, bisa jadi semua karena masih minimnya informasi yang utuh tentang ODHA.
Sebuah survey pada 2002 dilakukan oleh Herek at al, tentang ekspresi nyata atas Stigma HIV/ AIDS  di Amerika. Pada tahun 1999 satu dari lima orang dewasa "takut" pada ODHA, dan 1 dari 6 orang mengaku "jijik" berinteraksi dengan ODHA.  Pada penelitian lain di tahun 2000 terhadap 5600 orang dewasa di Amerika,  1 dari 5 responden menegaskan ODHA layak mendapatkan apa yang diderita sekarang. Amerika yang terkenal dengan negara "bebas", masyarakatnya tegas memberi cap pada ODHA. Perilaku berhubungan seks bebas tanpa pengaman, dianggap biang keladi pelaku tertular HIV/AIDS.
Sebuah survey dilakukan di Indonesia, mewawancarai mahasiswa di Sulwesi Selatan. Empat diantara sepuluh mahasiswa mengaku enggan bergaul dengan ODHA, alasannya cukup jamak khawatir akan tertular. Saat mahasiswa ditanya lebih lanjut, seandainya ODHA tersebut adalah teman mereka. Maka keempatnya memilih lebih baik menjauhi, daripada menanggung resiko tak diinginkan di belakang hari.
Saya pribadi yakin sejatinya mereka kaum terpelajar bisa menggali informasi, lebih detil tentang epidemilogi penyakit menular. Bahkan mungkin mereka (kalau mau) akan cepat paham, mekanisme atau cara penularan HIV/ AIDS. Pada orang terpelajar seperti mahasiswa, akan tahu bagaimana cara untuk menyikapinya.
-0-o-0-
sumber ; sukabumi.web.id
Menghindari Diskriminasi
Tentu bukan upaya yang mudah merubah sikap masyarakat, hukuman sosial ini terjadi pasti dengan runut yang panjang. Menurut hemat saya pribadi sebagai orang awam, kunci menghindari diskriminasi adalah justru kesiapan menghadapi diskriminasi. Artinya secara mental ODHA musti dipersiapkan, bahwa akan terjadi kemungkinan di luar yang tidak terprediksi. Berada di sebuah lingkungan atau kelompok masyarakat, tak ubahnya seperti berada dalam samudra luas lengkap dengan ombak dan badai. Semua orang yang bukan ODHA -pun juga dimungkinkan,  mengalami entah diskrimasi, intimidasi atau apapun namanya. Meyakinkan bahwa siapa saja bisa mengalami diskriminasi, tanpa harus menjadi ODHA sekalipun.
Pembekalan mental ini sangatlah penting, mengingat tidak bisa seorang individu menuntut masyarakat. Mungkin peran psikolog yang mumpuni dan tahan banting, akan sangat berpengaruh pada ODHA.  Penguatan sisi religius dari ODHA juga sangatl penting, memberi penyadaran tentang apa tujuan hidup sesungguhnya. Semakin terasah kepekaan hati mendalami ajaran agama, niscaya akan mempengaruhi perilaku keseharian.
Selain aspek psikologis dan religius (agama) terus disuport, dengan gaya hidup sehat baik dalam hal konsumsi makanan atau tindak tanduk dalam bersikap. Merubah lingkungan pergaulan yang lebih baik, agar aspek yang mendukung pulih dan lebih sehat tercapai. Mungkin tak ada solusi yang ideal, semua pasti ada plus minusnya. Namun justru sebuah solusi yang dijalani dan diketahui minusnya, ibarat pintu baru untuk selalu melakukan penyempurnaan.
Moment Pernas AIDS V  tahun 2015 di kota Anging Mamiri, semoga menjadi tonggak mengangkat harkat dan martabat ODHA. Pemerintah melalui  Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) , semoga bisa menelurkan kebijakkan yang membuat ODHA bernafas lega. Bahwa ODHA juga manusia seperti yang lainnya, selayaknya mendapatkan perlakuan yang sama.
Sekali lagi ingin saya menggarisbawahi kalimat ini, kunci menghindari diskriminasi adalah justru siap menghadapi diskriminasi.(salam)

Referensi bacaan Stigma dan Diskriminasi ODHA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA