Home

8 Mar 2015

Perjalanan Menjadi Orang Tua (Resensi Buku)


Buku "matahari Odi Bersinar Karena Maghfi" (dokpri)

Tak ada orang tua tak menginginkan, memiliki putra putri yang soleh dan solehah. Tumbuh dan berkembang sehat dalam keutuhan, baik fisik maupun mental. Anak  anak yang menempuh jalan tak berkelok, bisa menjadi kebanggaan hati orang tua. Pun kelak ketika ayah dan ibu berusia lanjut, buah hati penuh perhatian dan sepenuh sayang. Melapangkan dada untuk memeluk hangat, dua orang sepuh yang mulai ringkih badannya. 

 
Bayangan ideal setiap orang tua, tak mustahil bisa terwujud pada saatnya kelak. Namun tak ada hasil datang secara ujug ujug, semua musti melalui sebuah proses. Perjalanan orang tua mempersiapkan putra putri, sedini usia menjadi fundamen yang penting. Para orang tua yang ingin membentuk generasi penerus, musti memulai dari dirinya sendiri.
Ketika ruh belum ditiupkan dalam rahim seorang ibu, alangkah eloknya sepasang suami istri membenahi diri. Mengisi dan mempersiapkan diri, dengan keilmuan yang mumpuni. Saat janin masih bersemayam di gua garba, peran penting parenting nyata dimulai. Mengajak anak berkomunikasi, membelai dan mengelus lembut. Bisa menjadi cikal sang anak, merasai curahan kasih sayang ibunya.
Perjalanan menjadi orang tua bagai mendaki bukit, banyak tikungan dan jalanan terjal dilalui. Aneka lika liku lengkap tersaji, memeras rasa dan raga demi perjuangan. Keayahan juga keibuan akan teruji, setelah melampaui onak duri itu. Tanpa melewati perjuangan menguras energi dan air mata, mustahil kekokohan kuda kuda orang tua akan terbentuk.
Buku berjudul "Matahari Odi Bersinar Karena Maghfi", berisi keseharian penulisnya bersama tiga putra putrinya. Sulung bernama Gifari bersama adik tengah Maghfira, kemudian menyusul bungsunya Raudya (dipanggil Odi). Sang ibunda Neno Warisman, layaknya ibu pada umumnya yang perhatian pada tiga buah hati. Mengajak tiga buah hati memaknai kejadian, agar memiliki value yang bisa dipetik.
*****
Acara Parenting Journey di Ibf (dokpri)

Kisah "Jatuh Cinta" Maghfi pada Nabi Musa, cukup menggetarkan kalbu saya sebagai pembaca. Gadis kecil ini kerap memohon ibunya, memperdengarkan kisah ini berulang ulang. Permintaan yang disampaikan mulut sejatinya atas perintah otak, ajaibnya pengulangan ibarat proses penebalan informasi. Semakin sering informasi (cerita) dikabarkan, semakin menancap di benak si penerima.
Masa Golden Opportunity pada anak terjadi, adalah hingga usia buah hati mencapai tujuh tahun. Para pecinta pendidikkan menganjurkan, ada baiknya waktu dan ruang dilewatkan berdua dengan anak secara bergantian (ayah dan ibu). Hal ini demi membangun hubungan kedekatan dan mengesankan, hal itu harus "diciptakan" agar anak nyaman. Kelak mampu menjadi bekal yang sangat berharga, dalam keserasian hubungan juga bekal mengantar anak menggapai kesuksesan. , Subhanallah !!
Maghfi yang saat itu berusia lima tahun, sedang menatap lembayung senja bersama ibunya. Tak lama kumandang Adzan maghrib bergema "Ibu Wudhu dulu ya, nak..!
Gadis kecil menggeliat memungut boneka yang jatuh, tetap duduk tak bergegas bangkit mengikuti langkah ibunya. Gadis ini justru asyik dengan boneka di tangan, tampak sengaja ia bergeming. Mungkin juga ingin menunjukkan bahwa sedang tidak tertarik, dengan ide shalat yang diajukan ibunya.
Mungkin kejadiaan semacam ini dialami banyak orang tua, saat mengajak anak anaknya menunaikan shalat. Akan tetapi, mungkin belum belum banyak para orang tua, bersedia mengorbankan waktu untuk "sekedar" menanamkan keinginan shalat dengan cara yang bijak. Tindakan yang banyak dilakukan adalah dengan cara instan, marah, pokoknya ikut aturan, atau ancaman.
Pada kisah ini si ibu berangkat mengelus hati, mulai dari tokoh yang dikagumi gadisnya yaitu Nabi Musa. Bagaimana Sang Nabi yang dikagumi menomorsatukan Sang Pencipta, menjadi senjata ibu yang gundah. Sampai bertumbuh keinginan melaksanakan kewajiban shalat, tanpa merasa dipaksa apalagi "diintimidasi".
****
Neno Warisman yang memiliki background ilmu teater, membangun keseharian di rumahnya cukup demokratis. Menghidupkan kisah layaknya panggung drama, penuh naik turun emosi dan berdinamika. Sekecil hikmah yang kadang sepele, tetapi menjadi sesuatu yang bernilai tinggi. Saya cukup salut dengan pola komunikasi ibu dan anak, bisa menjadi teman berdiskusi untuk banyak hal.
Kisah tentang permainan ular tangga yang sederhana, menjadi entry point yang luar biasa. Satu anaknya sering kalah main ular tangga, bahkan ketika hampir mencapai kotak berangka seratus. Ada jebakan maut pada angka 98 terdapat ekor ular, sehingga pemain harus turun ke angka yang lebih rendah. Konon Maghfi sering kecut hati, tak berhasil menghindari dua kotak sebelum akhir. Alhasil sering kalah dan kalah dalam permainan, membuat hatinya sedih bertambah sedih.
Layaknya sebuah pertempuran di medan peperangan, kakak dan ibunya tak rela dengan situasi tak menguntungkan. Bertiga akhirnya membuat kesepakatan, akan melibatkan Allah dalam segala hal. Langkah bidak kecil ular tangga sudah di baris atas, tiba saat giliran Maghfi berjalan. Perlu tiga kotak lagi untuk melangkah, kemenangan akan menyelamatkan perasaan gadis mungil ini. Yang membuat berdebar adalah, satu kotak didepannya ada ekor ular yang memupus harapan. Maka sebelum dadu dikocok ketiganya berdoa khusyu,  agar angka yang keluar sepenuhnya berpihak pada gadis cantik ini.
Detik ke detik berjalan begitu lambat, jarum jam seperti ditarik ujung magnet. Setiap kocokan iramanya melambat, seolah menampilkan gerakan slow motion pada sebuah film. Wajah wajah yang menunggu dengan melongo, perasaanpun campur aduk antara harap harap dan cemas. -KLUTIK- dadu terjatuh ke lantai, wajah penasaran tak sabar melihat bulat kecil di sisi dadu. Ketiga pasang mata melotot tak berkedip, tak mau sedetikpun kehilangan momentum berharga. Sampai akhirnya tampak tiga titik kecil warna hitam, bergelempang di sisi dadu paling atas. Ibu dan dua anak bersorak gembira, memecah belah udara di dalam ruangan. Konon itulah kemenangan, yang menyelamatkan hati Maghfi.
Kunci yang musti digarisbawahi, jangan sungkan melibatkan Allah dalam segala hal. Kini Maghfi sudah berada di bangku kuliah, di sebuah Kampus Negri ternama yang susah sekali masuknya.
*****
Neno Warisman (dokpri)
 
Book Signing (dokpri)

Perjalanan mejadi orang tua adalah perjalanan kesejatian, perlu kesabaran ketekunan yang tak berbatas. "Kalau tak sabar bukan orang tua namanya" ujar Neno.
Buku yang dilabeli Trilogi Opera Keluarga, menjadi buku pertama bisa jadi akan berlanjut pada buku kedua dan ketiga. Sejauh pengetahuan saya sudah tiga kali ganti cover, untuk sub judul "Matahari Odi Bersinar Karena Maghfi". Kisah yang diangkat sangat wajar, namun disikapi dengan luar biasa. Saya sebagai ayah dengan dua anak, merasa harus belajar banyak menggali ilmu pengasuhan. Sedikit yang saya koreksi dari buku ini, sang ayah dimunculkan sangat minim. Mungkin ada pertimbangan lain yang pembaca tidak tahu, tapi secara keseluruhan buku ini bagus. Menjadi referensi bagi orang tua dengan anak masih kecil, untuk mempersiapkan buah hati beranjak dewasa.
"Saya bukan pakar, dan tidak merasa lebih pandai dari ayah dan bunda" Ujar Neno merendah "Apa yang diterapkan pada anak saya, belum tentu cocok untuk anak lain".
Namun lebih jauh dari sekedar ahli atau tidak, upaya belajar menjadi orang tua yang lebih baik itu point penting. Perjalanan menjadi orang tua tak usai setelah anak mentas, bahkan ketika mereka sudah menikah dan mempersembahkan cucu. Ayah dan ibu tetaplah orang tua, yang akan melapangkan dada. Menerima dengan dua tangan terbuka, meraup setiap duka buah hatinya. (salam)

4 komentar:

  1. Kalau tak sabar bukan orang tua namanya,... benar2 telak. Karena banyak ortu ngga sabaran tuh.... hehehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. trimakasih Bu Guru sudah berkunjung salam :)

      Hapus
  2. wahhh perlu banget nih buku, makasih infonya ya mas...

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA