prosesi ijab kabul - dokpri |
“Saya terima nikah dan kawinnya fulan binti fulan
dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan dibayar tunai.”
‘SYAAAAH’ terdengar suara serempak dari belakang,
disusul tepuk tangan.
Saya masih ingat prosesi ijab kabul, yang telah satu
dasawarsa lebih terlampaui. Rasanya seperti baru kemarin, sampai sekarang masih
terekam jelas di benak. Saya masih bisa merasakan, gugup dan gemeteran
menyelimuti perasaan.
Bagaimana tidak gemetaran coba, sebagai laki-laki dewasa
saya bersumpah atas nama Sang Khaliq
disaksikan orang tua dan sekian banyak sanak saudara. Sumpah yang tidak sembarangan,
mengandung nilai pertanggungjawaban dunia dan akhirat.
Dengan sepenuh kesadaran dan tanpa paksaan, saya
menyediakan diri memanggul beban, tugas dan tanggung jawab kehidupan.
Tidak sekedar merubah status sebagai suami saja,
tapi siap menafkahi lahir dan batin, mengayomi dan mempersembahkan perlakuan
yang baik pada pasangan hidup.
Fungsi mencari nafkah, mungkin bisa diemban oleh
orang dengan kategori dewasa. Orang yang berpredikat dewasa, sudah matang
secara fisik, psikologi,
Perjalanan panjang kini terlampaui, dua buah hati perekat
hati suami istri beranjak besar. Si sulung sebentar lagi lepas dari rumah –
diterima di ponpes --, adiknya sebentar lagi duduk di kelas dua sekolah dasar.
Suka dan duka menjalani biduk rumah tangga
terangkum, terasa manis dan indah saat mengenang bersama istri.
“Pertahankan rumah tanggamu, kalau sedang marah dengan istri ingat anak-anakmu biar emosi mereda ,”
nasehat ibu saya pegang dalam hati.
jalan bersam keluarga sebelum puasa Ramadan - dokpri |
Kebetulan saya punya saudara jauh, dulu menikah
muda kemudian bercerai setelah punya dua anak. Melihat nasib dua anaknya (pasca bercerai), menumbuhkan
rasa iba dan tidak tega.
Seberapapun si ayah – yang telah bercerai -- mencukupi kebutuhan fisiknya, seperti ada yang
hilang dalam hal pola asuh. Dua anak kehilangan figur ayah, tumbuh menjadi anak
yang kurang bisa diarahkan.
-00oo00-
“Berkeluarga
adalah fase terbesar dalam hidup setiap orang, karena berkeluarga menyatukan
dua individu yang berbeda,” jelas Eka Sulistya Ediningsih, Direktur Bina Ketahanan Remaja BKKBN RI,
dalam acara Blogger Gathering BKKBN
bersama Komunitas Bplus (Blogger Plus)
Presentasi pada slide awal ini, seolah mengajak
saya memutar balik saat awal membina rumah tangga. Dua orang (suami istri) dengan
isi kepala berbeda hidup dalam satu atap, pasti butuh usaha keras untuk saling
menyesuaikan.
Gesekan – gesekan terjadi mulai dari hal sepele,
terkait dengan kebiasaan keseharian, sikap dan pendirian, serta pilihan hidup
saat berada pada situasi tertentu.
Berdasarkan pengalaman, kunci menghadapi perbedaan
suami istri adalah mengalahkan ego diri sendiri. Penyebab konflik rumah tangga
terjadi, biasanya disebabkan masing- masing pihak keukeh dengan kemauannya
sendiri.
Dengan sikap saling mengisi kelemahan
masing-masing, menjadi musabab terbentuknya keluarga yang kuat dan berkualitas.
Seperti tertuang dalam UU 52/2009, tujuan berkeluarga adalah mewujudkan
keluarga berkualitas yang hidup dalam lingkungan yang sehat.
Masih pada Undang-udang yang sama, dijabarkan keluarga
yang berkualitas, adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah
dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang
ideal, berwawasan ke depan, bertanggungjawab, harmonnis dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk mewujudkan amanah Undang-undang, ada patokan
usia ideal dari sebuah pernikahan, perempuan di usia (min) 21 tahun, dan laki-laki
pada usia (min) 25 tahun.
Ki- Ka ; Roslina Verauli, M.Psi., Psikolog, dan Eka Sulistya Ediningsih - dokpri |
Roslina Verauli, M.Psi., Psikolog, yang bertindak
sebagai narsum di acara blogger gathering BKKBN dan Bplus, menegaskan dalam
presentasinya, “menikah pada usia di atas 20 tahun, akan meng-eliminer beberapa
resiko berkaitan dengan dampak pernikahan muda.”
Pada rentang usia di bawah 20 tahun, cenderung memiliki
gejolak emosi berlebihan dan belum stabil. Hal ini akan berkorelasi dengan
kegagalan pernikahan.
Sementara pernikahan di atas usia 30 tahun (pada
usia terlalu matang), juga beresiko pada problem semakin independent dan
terlalu mandiri, begitu ada konflik pernikahan minta bubar.
Menjalani kehidupan berumah tangga, didasari
perasaan saling cinta, saling memahami kelemahan pasangan, sehingga bisa
menjalani pernikahan yang komprehensif, berkesinambungan dalam jangka waktu
panjang.
Empat upaya pokok menjadi concern BKKBN dalam
pembentukan keluarga sejahtera, yaitu ; Pendewasaan usia pekawinan, Pengaturan
kehamilan, Peningkatan ketahanan keluarga, pemberdayaan lingkungan keluarga.
Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat,
sekaligus sebagai wahana utama dan pertama pendidikan bangsa. Peran keluarga akan
menentukan kualitas bangsa, kalau keluarga kuat maka akan bermuara pada
kekuatan bangsa.
Program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK), sebagai ikhtiar mempersiapakan keluarga dengan
sangat terencana. Agar remaja berketahanan dan berakhlak mulia.
BKKBN juga menggemakan salam GENRE, yang mengandung
simbol, Zero toleran ; menikah muda, perilaku seks di luar pernikahan, narkoba.
Remaja memiliki lima transisi kehidupan, Belajar
samapai tuntas, Masuk dunia kerja dengan kreativitas, menikah di usia ideal,
berinteraksi dengan lingkungan dan Hidup sehat.
“Keluarga bahagia
adalah keluarga yang dihayati sebagai keluarga bahagia,” tambah Roslina Verauli.
Sungguh saya terpana dengan kalimat ini, saya merasakan ruh pada kata “menghayati
bahagia” hanya bisa diterjemahkan oleh pelakunya.
Keluarga yang menghayati bahagia, adalah keluarga
yang mampu bertahan dalam kepahitan hidup sekalipun – contoh keluarga dalam
sinetron keluarga Cemara. Tokoh dalam keluarga cemara, begitu hangat, saling
terlibat dan terasah secara emosional.
Satu lagi adalah keluarga dalam sinetron ‘Si Doel
Anak Betawi,’ meskipun masing-masing memiliki konflik sendiri sendiri, tapi
mampu bertahan dan saling menguatkan.
Bagaimana dengan keluarga anda ?
Narsum dan MC Blogger Gathering Bersama BKKBN - dok WAG |
Memang betul banget membangun keluarga yang sempurna dan bahagia memang bukanlah hal yg mudah,,, hihihi jadi ingat waktu pas ijab Kabul juga nih....
BalasHapusKeluarga si doel, mpo suka nonton karena keluarga sederhana yang cinta budaya dan berhasil sukses
BalasHapusEdukasi pada remaja memang perlu digencarkan. Bukan hanya sekedar menghalalkan suatu hubungan, tapi juga membentuk keluarga yang bahagia, perlu direncanakan.
BalasHapussetuju banget nih karena memang membangun keluarga yang bahagia itu butuh proses
BalasHapusJadi inget pak, banyak temen saya yang nikah muda sebelum dan setelah lulus kuliah. Rasanya kayak.. sayang aja gitu masih muda dan mungkin belum terlalu stabil dan matang emosinya. Tapi, akhirnya cerai. Jadi agak skeptis dengan pernikahan. Tapi saya yakin pasti yang bertahan pun juga lebih banyak
BalasHapus