30 Apr 2014

Petuah Ajaib Ibuku (Launching Novel Athirah)

Blogcomp "Surat Untuk Ibu" (dokpri)

Ibu….., kutulis surat ini dengan pikiran yang penuh sesak dengan kenangan indah tak terganti, dengan dada bergetar menahan rasa haru yang membuncah, dan tetesan air bening yang tak henti mengalir membasahi pipi. 
Meski aku tahu itu tak pernah akan sebanding dengan kasihmu yang telah mengalir tanpa henti. Air susu ibu itulah yang telah mendarah daging kubawa kemanapun berkelana, sampai kapapun waktu masih bersua, akan terus erat mengikat  batin antara seorang ibu dan anaknya. 


Merdunya kicau burung tak semerdu senandung doamu, redupnya sinar rembulan tak seredup tatapanmu, lantunan angin yang bersemilir tak sesejuk kasihmu, 

Malam ini ananda terkenang, ketika suatu senja nan temaram duduk di balai bambu sederhana di pojok dapur sederhana berlantai  tanah itu. Tak terbayang berapa jauh ananda meninggalkan dunia kecil yang pernah kulalui bersamamu, dunia kecil penuh riang tawa tiada beban, dunia kecil yang perlahan menjauh menjelma kelabu,

Aroma khas ketika berada pangkuanmu ibu, berbalut kain kebaya rambut bergelung kecil seadanya, akan terus membekas hingga kini bahkan nanti, Aroma itu hanya ada pada kain kebayamu. Meskipun corak warna kain itu telah memudar dimakan waktu, beberapa bagian kain itu sudah terlihat merapuh memutuskan benangnya, namun menyandarkan kepala di pangkuanmu membuat nyaman tak terkira..
Ibu….., masih kuingat jelas sinar matahari kemerahan menggapai senja, dibalai balai yang sama ketika usai kautunaikan tugas menyiapkan masakan untuk seisi keluarga , kau hantar kepalaku kepangkuanmu yang hangat sambil kau belai, suara lamat lamat burung berkicau ditingkah kicauan lain hendak ke sarang, anak ayam yang hilir mudik mengikuti induknya mencari sisa sisa makan di dekat tempat cuci piring. Sayup angin sore berhembus semilir, beberapa helai ujung rambut yang kau gelung sederhana itu meliuk  tertiup angin.
“Le…..” begitu engkau memecahkan lamunanku dengan panggilan kesayangan seorang ibu untuk anak laki lakinya. “kalau ingin hidupmu mulyo, dimanapun kamu berada nanti, musti sungguh sungguh ojo dumeh, sing jujur bakal makmur, sing temen bakal tinemu” (jangan suka mentang mentang……yang benar benar tekun akan bertemu dengan kemuliaan). Aku dipangkuanmu menikmati belaian itu mendengar petuah itu tanpa bereaksi, tanpa bertanya atau tepatnya tak terlalu paham dengan maksud kalimat itu. Ibu diam tak berusaha menjelaskan secara rinci makna nasehatnya. Kalimat itu terasa berat untuk dicerna anak usia 8 tahunan.
Ajaibnya kalimat itu terngiang- ngiang sampai kini aku dewasa. Setelah sekian masa berganti mengeyam aneka rupa peristiwa, akhirnya paham jua petuah itu  kupatri di sanubari. Kalimat pendek itu seolah menjelma menjadi mantra yang mengiringi setiap langkahku.
Ibu jarak ruang antara kita sebegitu jauh namun hatimu selalu hadir untukku, tangan yang sama yang dulu membelai kini mulai berkeriput, rambut dengan gelungan yang sama seperti dulu kini memutih sudah. Namun aroma khas yang menempel di kain kebayamu dulu tetap sama tak berubah dan tak akan kutemui dimanapun. Ingin rasanya kembali damai dipangkuanmu tanpa beban kehidupan, yah beban yang telah merengkuh masa indah yang pernah terlalui bersama.
Beriringan dengan untaian kata demi kata yang kupersembahkan untukmu, ijinkan aku bersimpuh ibu, mempersaksikan diri bahwa petuahmu yang sederhana adalah benar adanya.
Kejujuran akan menjadi penghalau kegelisahan, bahwa sebanyak apapun harta yang didapat tak akan membuat tenang apabila diperoleh dengan cara yang tidak benar, apabila meraihnya dengan menghalalkan segenap cara. Bahwa ketekunan adalah jalan kesabaran menuju kemuliaan sangatlah kuamini, bahwa ketika sudah memulai sesuatu pekerjaan yang baik maka harus terus ditekuni hingga tuntas, meski awal mulanya perolehan atas pekerjaan itu tak seberapa ketika terus dikerjakan dengan kesungguhan dan ketulusan maka akan membesar jua. Kejujuran dan ketekunan menjadi senjata yang tak main main dalam menghadapi badai kehidupan ini, meski konsekwensinya juga tak remeh.
Kini setelah aku merasakan sendiri asam garam kehidupan. Berada jauh disisimu membuat merindu tak menentu. Segala cerita suka duka kehidupan yang kualami tak mampu setiap saat kubagi denganmu, kecuali akhirnya kutelan sendiri. Sering aku membayangkan wajahmu sambil berbincang lewat sambungan telepon. Intonasi suara dan tawamu masih sama tak berubah seperti suara dan tawa yang sering kudengar di masa yang lalu. Petuahmu yang tak berkehabisan menjadi suntikan energi untuk menyiasati kegetiran hidup yang kualami. Hembusan doa yang tak berkesudahan mengalirkan energy agar semangatku tetap menyala.
Ibu sebarapapun luas samudra yang aku tempuh tak akan menandingi lelahmu membesarkanku, seberapapun air mata yang menetes dipipi kalau mengenangmu tak kan sanggup mengungguli air mata doamu, seberapa berat beban kusandang yang kupersembahkan untukmu takkan menebus selaksa pengorbananmu atasku. Kerelaan mana yang sanggup mengungguli kerelaanmu atas anak anakmu.
Ibu, dibalai balai bambu sederhana dipojok dapur sederhana berlantai tanah yang dulu ingin kuulang saat saat sakral tentang pertautan ikatan hati yang abadi, seabadi petuah sederhana yang terus tersimpan rapi di hati “sing jujur bakal makmur sing temen bakal tinemu”

Ciputat, akhir des 2013. 
Runner Up- Blogcomp dlm Launching Novel Athirah (dokpri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA