15 Jul 2016

Memulai Wirausaha, Siapa Takut !

"Kunci Wirausaha itu adalah segera MULAI", kalimat ini pernah diucapkan (alm) Bob Sadino
Saya pribadi sangat terinspirasi, satu kalimat dari pengusaha bergaya nyentrik ini. Keputusan berwirausaha memang bukan hal mudah, tapi kalau tidak dimulai sekarang terus kapan lagi.
Aneka froozen food- jualan di rumah (dokpri)
Saya termasuk nekad, mengambil keputusan resign saat karir di tempat kerja sedang bagus. Tapi bagi saya hidup adalah pilihan, harus berani keluar dari zona nyaman.
Beberapa usaha pernah saya jalani, tak terasa sudah melewati 5 tahun jatuh dan bangun demi kemandirian. Saya meyakini, betapa rejeki terhampar di muka bumi. Masalahnya siapkah kita menjemput, atau justru bermalas-malasan.

13 Jul 2016

Ayah Tiada Ayah Meng"ada" [Review Sabtu Bersama Bapak]

Akhirnya saya nonton juga film keren ini, melalui kejutan tak dinyana. Mbak Etty Budiarjo lah pembuka jalan itu, mempersembahkan ticket untuk kami berlima - trimakasih banyak Mbak Etty-. Setelah koordinasi, kami datang tinggal mengambil ticket.
Tiekcet Nobar Sabtu Bersama bapak (dokpri)
Untuk film dengan tema ke-ayah-an, saya sangat antusias menyambutnya. Karena saya meyakini, bahwa ayah memiliki peran luar biasa. Anak yang tumbuh dekat dengan figur ayah, akan memiliki sisi psikologis beda dibanding  yang tidak dekat.
Film  berjudul "Sabtu Bersama Bapak", pantas menjadi daftar wajib tonton bagi para ayah/ bunda. Ayah yang menanamkan pemahaman, lazimnya akan menghadirkan anak yang paham juga. Namun tak bisa ayah memaksakan bentuk pikirannya, karena anak-anak akan hidup di jaman yang berbeda.
-0o0-
Gunawan Garnida (diperankan Abimana Aryasatya), seorang ayah divonis tak memiliki umur panjang. Meninggalkan dua anak yang masih belia, Satya (diperankan Arifin Putra) dan Cakra (diperankan Deva mahenra). Sang ibu (diperankan Ira Wibowo) memegang kendali, berjanji pada suami akan mengantar anak hingga menikah.
Kedua anak tumbuh, menjadi anak yang sayang dengan ibu karena ada peran ayah. Setelah Satya dewasa menikah dengan Risa (diperankan Acha Septriasa), keduanya mengalami konflik rumah tangga. Sementara Cakra memiliki masalah sendiri, sampai usia tiga puluh kesulitan mencari jodoh.
Bagaimana sosok ayah bisa ada, meskipun secara raga sudah meninggal ?
Kalau anda seorang ayah/ibu, ajak anak anda menonton film ini.
 
Poster SBB- foto dari cinema.com
Film bergenre drama ini, diangkat dari novel best seller Aditya Mulya dengan judul yang sama. Digarap sangat detil oleh Monty Tiwa, mengambil setting di Bandung, Jakarta dan Paris. Alur cerita dibuat maju mundur, namun sangat relevan dengan benang merah cerita.
Saya sengaja mengajak anak, untuk bersama mengambil pesan yang ingin disampaikan di film ini. kami berdua cukup terharu, ketika sosok ayah yang tak sempurna namun ada.
Yup- Meng"ada" begitu saya membahasakan !
Siapapun anda, memiliki potensi mengada di hati orang terkasih. Jangan sia-siakan kebersamaan, karena detik demi detik akan habis pada saatnya. Tanam dalam benak mereka, dengan sikap penuh cinta dan sayang. Jadikan diri sebagai lelaki terbaik, agar anak dan istri merasa beruntung memiliki ayah/ suami seperti anda.

Sabtu Bersama Bapak, adalah hari menanamkan kabajikan dan kebijakan. (salam)
foto dari camea Bowo

12 Jul 2016

Memaknai Mudik dari Masa Ke Masa

Kumpul bareng saudara saat lebaran (dokpri)
Kegiatan mudik sudah saya rasakan hampir seperempat abad, sejak keputusan merantau terpatri dalam hati. Pada awal tahun 90-an usai lulus dari SMU, prosesi mudik saya lakukan dengan begitu praktisnya. Sebagai seorang bujang yang sudah bekerja, terbilang tidak terlalu repot mengatur diri.
Malam menjelang esok sholat Idul Fitri, langsung mencari angkutan kota menuju terminal. Hanya tas ransel ukuran sedang dan tentengan buah tangan, saya berebut bus dengan penumpang lainnya. Berjajar bus antara kota di terminal Purabaya Surabaya, pilihan saya adalah Bus bertulis tujuan kota kecil Magetan.
Kalaupun jurusan kota asal sarat penumpang, mencari alternatif bus jurusan Solo atau Jogjakarta. Badan muda kala itu cukup gesit berpindah pindah, kaki ini lincah meloncat kesana kemari dengan ringannya. Sampai berhasil mendapati satu kursi duduk, yang akan menghantar menuju tempat tujuan. Sebagai pekerja rendahan tak bisa saya pilih bus executive, biasanya bus ekonomi atau kalau terpaksa patas AC menjadi tumpangan. Dalam perjalanan pulang terdengar riuh rendah, suara takbir bersahutan menyambut hari kemenangan datang.
Sejak tak lolos mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negri (UMPTN), saya memutuskan bekerja terlebih dulu. Biaya kuliah di sekolah non negeri yang selangit, membuat hati ini ciut dan kasihan pada orang tua. Tahun kedua setelah memiliki penghasilan sendiri, akhirnya mengambil kelas malam di kampus swasta berbiaya terjangkau. Namun saya tak usai mensyukuri, betapa keadaan mengajari untuk hidup mandiri. Ketika mulai mengantongi penghasilan bulanan sekedarnya, setidaknya sudah tak menambah beban orang tua.
"Biar saja kita hidup pas pasan, yang penting jangan sampai terdengar orang tua" Nasehat kakak tertua suatu ketika.
Petuah ini yang benar saya pegang dalam tekad, tak pernah berkeluh kesah pada ayah dan ibu. Setiap hari pulang kampung tiba, tak pernah tangan ini dibiarkan hampa. Kain bahan kebaya atau mukena untuk ibu, terbungkus rapi menjadi satu dengan baju koko atau sarung buat ayahanda. Kadang kue kue kering dan sirup aneka rasa, menjadi pelengkap oleh oleh menjelang lebaran. Ada perasaan bungah menumbuh di sanubari, saat melihat senyum mengembang dari dua wajah bersahaja.
"Matur suwun yo le, mustinya tidak usah repot bawa oleh oleh segala" ujar ibu
"Kamu bisa pulang saja, sebenarnya sudah lebih dari cukup" ayah menimpali
Biasanya bingkisan yang tak seberapa, akan diganti bahkan lebih saat kembali ke perantauan. Kue kering, kacang telur, abon, atau makanan lain yang awet, terbungkus rapi dalam kardus. Siap diangkut ketika kembali ke rumahh kost, lumayan untuk mengurangi jatah pengeluaran sehari hari.
Tradisi mudik dari Kota Pahlawan terus saya jaga, meski karena pekerjaan yang sepenuhnya tepat waktu. Pernah suatu ketika pulang sore hari usai shalat ied, karena pagi hari masih menyelesaikan tugas. Otomatis sungkem pada orang tua dilakukan sendiri, menyusul setelah kakak sungkem pada pagi hari. Kebiasaan sungkem di keluarga, dilakukan pagi di lebaran pertama. Sedangkan pada lebaran hari kedua, saat beranjang sana ke tetangga dan rumah saudara.
****
Masih pada hitungan awal tahun 2000-an, saya berpindah tugas ke ibu kota. Mudik tetap menjadi tradisi dipertahankan, moda transportasipun mulai berpindah. Kala itu saya masih sempat antre dari subuh, demi mendapatkan sebuah tiket kereta eksekutif. Sahur terpaksa dilakukan didepan loket kereta, menunggu sampai jam tujuh petugas buka. Sholat subuhpun dilakukan bergantian, bekerjasama dengan pengantri yang berdekatan.
Pulang kampung tak sesimple saat dulu, musti dipersiapkan tiga bulan sebelumnya. Budget diatur sedemikian rupa, agar pengeluaran tak sampai kebobolan. Kalau sedang ada rejeki berlebih, memilih yang lebih cepat yaitu moda transportasi udara. Saya mensyukri apapun yang saya alami, persis ketika mudik saat bujangan dengan bus ekonomi.
Betapa perubahan akan terus terjadi dalam kehidupan, selama setiap kita manusia mau berusaha.
Kini setelah kami enam bersaudara berkeluarga, mulai terjadi pergeseran prosesi mudik. Saya bungsu dengan lima kakak, memiliki kesepakatan bersama. Membagi waktu lebaran secara bergantian, dengan keluarga mertua masing masing. Keluarga dari pihak istri menetap, pada kota yang berbeda dengan kampung halaman.
Sehingga satu lebaran kami berkumpul dirumah orang tua, lebaran tahun berikutnya berpisah di rumah mertua masing masing. Khusus keluarga kecil saya biasanya menyiasati, tetap pulang kampung pada dua atau tiga bulan setelah lebaran.  Meski demikian saya tetap mengatur keuangan lebih dini, mengingat empat tiket harus dibeli saat lebaran tiba. Keengganan saya menyetir roda empat jarak jauh, membuat saya tidak menggunakan mobil sebagai sarana mudik.
Dari pulang kampung ke pulang kampung berikutnya, sering saya merenungi perjalanan kehidupan. Mengapa budaya mudik terjadi di negri ini, dan betapa gerakan massal ini mempengaruhi semua sektor kehidupan.
Transportasi mengalami lonjakkan permintaan, kebutuhan bahan pokok apalagi. Pakaian, Makanan, Minuman, Barang Elektronik, Pulsa Celuller, Tempat Hiburan semua diburu oleh konsumen. Setiap orang ingin tampil lebih dari biasanya, memantaskan diri dihadapan sanak saudara. Meski kadang ada yang memaknai lain, dari sekedar mengedepankan nilai nilai silaturahmi. Tak bisa dipungkiri setiap orang berbeda, baik dari cara berpikir pun cara menyikapi keadaan.
***
Inilah kampung halaman saya (dokpri)
Satu hal tak pernah berubah dan selalu saya dapati, adalah senyum tulus dan bahagia dari orang tua. Kini setelah ayanda berpulang ke hadirat-NYA, ibu menjadi pusat kami anak anaknya. Sampai sekarang tidak pernah tangan ini hampa, membawa sekedarnya sebagai tanda bakti dan pengabdian.
Meski sungguh saya meyadari sepenuhnya, apapun yang dipersembahkan tak sanggup membalas kasih orang tua. Kemudian kalimat senada masih saja terdengar ditelinga, menjadi bukti bahwa memang itu yang keluar dari hatinya.
"Matur suwun yo le, mustinya tidak bawa oleh oleh segala" ujar ibu dengan suara parau
Ternyata kalimat belumlah selesai sampai di situ,"Kamu bisa pulang saja, sebenarnya sudah lebih dari cukup" kini kalimat dari ayahanda diucapkan oleh ibu.
Rasa haru seketika membucah, menyaksikan senyum itu mengembang. Garis wajah sepuh yang keriput, tak sanggup ditutupi dan dihindari. Rona bahagia yang sama dan terjaga hadir, setiap mendapati buah hatinya kembali pulang kepangkuan.
Bagi saya mudik lebih dari sekedar pulang, dan bersua dengan orang tua atau handai taulan. Mudik ibarat perjalanan kehidupan itu sendiri, sejauh kaki melangkah akhirnya akan kembali ke muasal. Kampung halaman adalah tanah tumpah darah, yang menghadirkan kekangenan untuk dijenguk kembali.

Setiap manusia kelak pasti akan mudik yang sebenarnya, yaitu pulang kembali ke alam kekal. Almarhum ayahanda saya telah melampauinya, dari mudik di alam fana dan kini mudik yang sesungguhnya. Sudah seyogyanya setiap mudik menumbuhkan kesadaran, bahwa setiap kita akan tiba pada mudik yang sejatinya mudik. (salam)  

11 Jul 2016

Mukena Lebaran untuk Ibunda

Illustrasi- sungkem- (dokpri)
Ramadhan baru saja menjejak di bumi, puasa juga belum tuntas sehari dijalani. Lelaki muda berbadan kerempeng, menyusuri jalan Slompretan Surabaya. Bangunan tua kokoh peninggalan Belanda, megah bercat putih kusam dan terkesan angker. Kelak akan menjadi saksi perjalanan, pria sederhana berbakti pada orangtua.
Bulan ini baru genap setahun mengabdi, di sebuah gudang  karpet dan gorden. Artinya ini adalah Ramadhan pertama, berstatus sebagai karyawan sebuah toko. Tugasnya sehari hari mengandalkan kekuatan fisik, menata barang masuk sekaligus menyiapkan pesanan. Sempat terbersit puasa tahun ini lebih berat, mengingat pekerjaan yang dilakoni. Namun menahan lapar dan haus, tak boleh dibatalkan untuk alasan pekerjaan.
Kerja yang tangah dijalani sungguh melenceng dari harapan, jauh dari tipical pekerjaan idaman. Saat masih bersekolah tergolong aktif berorganisasi, beberapa kali maju lomba tingkat Kabupaten bahkan provinsi. Prestasi akademis tak mengecewakan, nyaris setiap menerima raport masuk lima besar. Pernah muncul bayangan dibenak, suatu saat dinas di kantor mewah berpendingin. Berpenampilan rapi lengkap dengan dasi senada baju, menjalani waktu dari meeting ke meeting. Sepatu hitam disemir mengkilap, berjalan penuh rasa percaya diri.
Namun kenyataan pahit ditelan, sejak tak bisa masuk kampus negri pilihan. Kuliah menjadi impian istimewa, akan diraih pada waktu yang direncanakan. Rasanya bangku perguruan tinggi menjadi obsesi, untuk keluar dari "kepedihan" yang sedang dialami.
"Hanafi, pesanan karpet ini tolong siapkan" ujar kepala gudang "sepuluh tempat musti dikirim sore ini"
Lelaki muda usia dua puluhan menerima secarik kertas, memastikan stock pesanan masih ada. Setelah yakin bergegas ke gudang belakang, diikuti dua kuli mengemas dan mengangkut barang pesanan.
Gelondongan karpet menumpuk di rak besar, menuntutnya jeli mencari jenis pesanan. Semua karpet dan gorden sudah dipisahkan raknya, berdasar kategori agar mudah menemukan. Aneka motif karpet dan type warna harus dikenali, cukup melihat dari ujung gulungan. Hanafi bisa melampaui pada tiga bulan pertama, hafal hampir duapuluh motif, warna serta ukuran. Semua berkat ketekunan mengikuti seniornya, sembari membuka brosur memperhatikan gambar. Bahkan untuk motif bunga yang cukup rumit, bisa dikenali dari jenis serabut dan warna yang menempel di karpet.
Pekerjaan cukup menguras waktu dan tenaga, saat  stock barang yang dicari tinggal sedikit berada ditumpukkan paling bawah pula.
***
Hanya terpisah tiga bangunan di jalan yang sama, terdapat satu gudang kain cukup luas. Sering terlihat tumpukkan daster, sarung, mukena dan kain batik di tempat tersebut. Pekerja yang berada di sekitarnya, kerap membeli beberapa potong dengan harga discount khusus.
Hanafi sering melintasi gudang ini, saat hendak makan siang di warung emperan. Hingga tergerak hati, suatu saat mampir dan membeli.
"Mukena" gumamnya Hanafi dalam hati
Tekadnya mempersembahkan mukena bulat, menyisihkan gaji bulanan tak seberapa. Sebagai bungsu tak membuatnya manja, tempaan kenyataan telah membentuknya.
Puasa tahun ini memang jauh berbeda, siang hari tak sekedar menahan lapar dahaga. Yang berat menahan emosi menghadapi kuli, yang sering berkata kasar dan membangkang. Apalagi kalau dua truk barang datang, harus selesai hari itu juga. Fisik yang lelah ditambah godaan untuk marah, semakin sempurna ujian harus dihadapi.
Namun semua menguap menjelang senja, melintasi gudang kain mengingatkan niat. Tekadnya semakin kuat usai menghitung tabungan, lima lembar uang duapuluh ribuan sudah disiapkan. Pernah terbaca delapan puluh ribu di kertas gantungan, tepat pada tumpukkan mukena.  Selain terdapat angka ratusan ribu bahkan lebih, di atas tumpukkan mukena lainnya.
Seminggu sebelum mudik dipersiapkan waktu, sore menjelang jam pulang tiba. Mendatangi  gudang yang dimaksud, berharap membawa sepotong mukena.
Langkah penuh percaya diri diayunkan, sampai di depan pintu yang dituju. Bergegas mencari tumpukkan mukena, yang pernah dilihat sejak dua hari lalu. Beberapa kali pandangannya tertuju satu tempat, meyakinkan kalau penglihatannya tidak salah. Perlahan tapi pasti mulai luntur kegagahan, yang semula dimiliki saat kedatangan. Masih ada mukena di tumpukan lain, tapi harganya melebih uang yang disiapkan.
"mbak,  tadi pagi saya lihat harga delapan puluh ribu disini" Hanafi meyakinkan
"sudah habis tadi siang mas" balas petugas singkat
Tak ada kalimat lagi yang hendak diucapkan, kecuali berkecil hati dan langkahpun mundur teratur. Raut kecewa jelas tak bisa dibiaskan, menghiasai wajah Hanafi senja itu.
"kenapa mukamu di tekuk gitu" celetuk kepala gudang
"tidak apa-apa pak, kecapekan saja" elak Hanafi
"Bingkisan lebaran dibagikan besok, ini ada tambahan kamu isi ukuran bajumu" sang pimpinan menyodorkan kertas
Setiap lebaran seluruh pegawai mendapat parcel, khusus tahun ini mendapat tambahan. Baju koko untuk pegawai pria, dan mukena jatah karyawati. Seketika berputar pikiran hanafi, berniat hendak menukar baju kokonya.
"Pak, eeem kalau saya pilih mukena boleh?" ucap Hanafi hati-hati
"Kenapa ditukar, kamu mau pakai Mukena" ledek pimpinan sambil tersenyum
"Enggak Pak" Hanafi tersipu "buat ibu saya"
Ruangan di sudut gudang sejenak hening, boss gudang itu melihat bawahannya dan mengangguk.
"Yeeess" pekik Hanafi dalam hati.
Illustrasi- dokpri
***
Gema takbir bersahutan membelah angkasa, Hanafi siap mudik lengkap dengan tentengan. Parcel dari kantor dibawa pulang, tak ketinggalan mukena halus berenda cantik. Melihat tampilannya bisa ditaksir, harganya melebih celengan yang disiapkan.
Dalam bus sepanjang perjalanan pulang, tertanam satu pencerahan baru tentang keajaiban. Betapa semesta akan mengawal mahluk di pelatarannya, yang memiliki niat baik dan mulia. Ketidakmungkinan dalam batas logika, akan dilibas selama manusia gigih berupaya.
Mukena menjadi persembahan istimewa, yang setiap helai benang mengiringi harapan dan doa. Hari raya tak lagi sekedar hari kemenangan, tetapi sungguh membuncahkan hati. Lelaki anak ragil dari keluarga bersahaja, bisa membawa oleh oleh untuk ibunda.
"Matur suwun ya le..." kalimat ibu tersendat
"enggih buk.."balas Hanafi terbawa suasana

Embun bening mendadak hadir di sudut mata, segera ditepis sebelum meleleh.