Home

2 Jul 2025

Mencintai Keluarga Berarti Mencintai Diri Sendiri


Bahagia itu unik, siapapun tanpa pandang bulu bisa menggapainya. Bahagia itu istimewa, tidak terlalu kaku dan terpaku pada satu keadaan tertentu.

Kebahagiaan itu sederhana, bisa datang pada tak melihat kasta. Kebahagiaan itu nyata, tak segan bersemayam di hati siapa saja.

Kebahagiaan suami semestinya tumbuh, ketika mendapati istri nyaman dengan kerelaan melewati segala cuaca kehidupan bersama.

Kebahagiaan seorang ayah seharusnya tiba, melihat keceriaan ada di wajah anak-anak, melalui kebersamaan yang dicipta. 

Kebahagiaan tidak selalu identik dan tidak berbanding lurus, dengan kepemilikan bendawi atau pencapaian prestasi.

Pada saat sedang tidak berpunya sekalipun, bukan alasan sebuah kebahagiaan menjauh dan enggan datang mendekat.

-00o00-  

Dua minggu jelang pergantian tahun 2018, saya dan keluarga kecil pulang kampung,  bulek (adik dari garis ibu) punya hajatan menikahkan ragilnya (berarti sepupu saya).

Perjalanan kami rencanakan jauh hari, karena harus berhitung biaya tiket dan segala keperluan, mengingat banyak kebutuhan lain minta diutamakan.

Sebenarnya, bisa saja saya pulang sendiri (tanpa anak istri), tapi dengan beberapa pertimbangan ahirnya kami pulang berempat.

Kebetulan anak mbarep libur dari pondok, pasti butuh refreshing sekaligus penghiburan agar tidak jenuh liburan di rumah saja.

Dalam rangka berhemat, saya berburu ticket kereta,  sejak sembilan puluh hari (dihitung mundur) sebelum hari keberangkatan tiba.

Stratgei ini lumayan manjur, agar mendapat seat promo yang ditawarkan KAI, harga yang dibandrol cukup ramah di kantong (apalagi kalau beli 4 tiket.

Meski sedang berhemat, saya memasukkan sesi jalan-jalan, setidaknya pergi ke tempat wisata terdekat dan berbiaya ekonomis.

Mumpung lagi kumpul dengan keluarga besar, kapan lagi bisa jalan-jalan bareng kalau tidak ada acara keluarga.

Perjalanan pulang kampung dimulai—Suasana stasiun kereta Pasar Senen,  riuh rendah dengan penumpang hendak bepergian ke tujuan masing-masing.

Saya sang kepala keluarga, sebagai penanggung jawab utama, menyelesaikan segala urusan keberangkatan, memastikan semua beres sampai di peron.

 


Meski pergi dengan kereta ekonomi, keceriaan anak-anak tidak bisa disembunyikan, mereka antusias bahkan sejak persiapan di rumah. 

Tas ransel bertengger di punggung mereka, tindak tanduk si kecil berlaku bak petualang yang pernah dilihat di televisi.

Itu baru keberangkatan di stasiun, keseruan masih berlangsung di sepanjang perjalanan di dalam gerbong kereta.

Bermain ini dan itu, tebak-tebakan, si kakak menggoda adiknya, tertawa bersama, kemudian pulas karena kecapekan.

Menikmati pemandangan dari jendela kaca, melewati petak demi petak sawah, melihat pohon satu berkejaran dengan pohon yang lain.

Membuka bekal disiapkan dari rumah, menikmati menu dengan lauk dibeli dari warung padang dekat rumah, membuat suasana perjalanan semakin semarak.

Semangat anak-anak berbaur  sukacita, paras jernih buah hati membumbungkan perasaan riang tak terbilang kata.

Kemana lagi bahagia si ayah hendak dicari, kecuali menyaksikan apa yang terjadi di depan mata dirasakan orang-orang dicintai.

Sampai di stasiun tujuan   Saya janjian dengan keponakan (anak kakak tertua), minta tolong dijemput, dijanjikan pengganti membeli bahan bakar.

“Nggak usah isi Pertamax Om, tangkinya masih full” tepisnya ketika saya ajak mampir SPBU

Sebelum adzan subuh berkumandang, akhirnya kami beranak pinak sampai ke rumah masa kecil di kampung halaman.

Kenangan lampau satu persatu bertumbuh, ketika kaki menjejak di tanah yang sama yang dulu pernah saya menjejak.

Melihat sawah dan jalan setepak yang mulai berubah, sungai dan jembatan semakin diperkokoh, dahan dan pepohonan di sepanjang jalan berubah namun tidak membuat pangling.

Anak-anak dan istri berbaur dengan sanak kerabat, berbagi cerita dan canda tawa, setelah sekian waktu tidak berjumpa.

Berfoto bersama dengan mempelai, menyerahkan kado terbungkus cantik, yang sudah kami beli dan siapkan sekian bulan lalu (dengan alasan berhemat).

Mas, matursuwun banget, kadonya sangat suka dan kenarena benar-benar saya butuhkan’ ujar saudara sepupu melalui pesan di handphone.

Setelah berunding, keesokan harinya kami keluarga besar ke tempat wisata terdekat, berjarak sekitar duapuluh kilometer dari rumah.

Kampung halaman saya di kaki gunung, jadi tidak terlalu kesulitan mencari lokasi wisata, tentunya dengan tema pegunungan.

Semua biaya piknik dibcarakan dan diperhitungkan, ditanggung bersama agar tidak ada ganjelan sesama saudara.

Termasuk untuk urusan makan siang bersama, dua tas berisi nasi putih dan lauk pauk, telah disiapkan dan dibawa dari rumah.

Canda tawa cermin kebahagiaan, ada di setiap wajah yang ikut piknik tipis tipis, namun penuh keakraban dan kebersamaan.

Saya tidak kalah bahagianya, melihat istri dan anak-anak tertawa lepas, sejenak tidak terkungkung dengan rutinitas keseharian.

Apa yang saya rasakan, sunguh melebihi apa yang telah diupayakan (tenaga, waktu, tenaga dan pastinya biaya)

Seorang ayah  pecinta,  adalah ayah yang rela memasang badan bagi pecintanya, tanpa berharap balas atas jerih payah dicurahkan.

Ayah yang mau berkorban, tidak akan berhitung tentang untung dan rugi, tehadap persembahan bagi orang dikasihi.

Biarlah segenap ikhtiar dikerahkan ayah, kelak menjelma menjadi jejak perjalanan di kalbu buah hati dan belahan jiwa. 

Karena kebahagiaan ditanggung anak-anak dan istri, sejatinya di situlah letak kebahagiaan ayah itu sendiri.

Ayah laksana pusat galaksi bernama keluarga, ibu iseperti planet bumi mengitari, anak-anak adalah gemerlap gemintang, menghiasi tata surya.

Ketika setiap peran  setiap anggota keluarga,  berjalan sesuai fungsinya, maka kedamaian akan menjadi keniscayaan.

Muasal bahagia abstrak, bisa diupayakan dengan sederhana, asalkan menyertakan hati dalam setiap upaya. Para ayah yang mencintai keluarga, sejatinya kalian telah mencintai diri sendiri – semoga bermanfaat-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA