Tampilkan postingan dengan label buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label buku. Tampilkan semua postingan

25 Mar 2015

Jalan ke Khusyu Itu [Resensi Buku]


Cover Buku "Ijinkan Aku Bertutur" (dokpri)
Siapa tak kenal nama Neno Warisman, Penyanyi, Pemain Sinetron dan Bintang Film era 80-an. Kualitas vokalnya tak diragukan, melengking menggapai nada nada tinggi. Semasa jayanya beberapa lagu hits sudah dicetak, sebut saja  lagu berjudul  Matahariku, Kulihat Cinta di Matanya, Kebangkitan, Biar Saja. Bahkan satu lagu duet dikenang hingga sekarang, adalah Nada Kasih yang dibawakan bersama Fariz RM. Tak berhenti  hanya merambah di dunia tarik suara, teater yang menjadi background berkesenian diseriusi. Maka satu judul Sinema Elektronik TVRI, bertitel  Sayekti dan Hanafi sutradara Irwinsyah mematri namanya. Kualitas akting yang mumpuni dan prima, memantaskan nama beliau menjadi pemain papan atas. Sebagai bukti atas keberhasilannya, Piala Vidia menjadi ganjaran atas sukses tokoh mbok gendong yang diperani.
Setelah masa berlari jauh berlalu, lagu Nada Kasih direkam ulang oleh penyanyi muda. Vokal dari penyanyi Rio Febrian berduet dengan Erra farzira, menjadi lagu Nada Kasih versi dan aransemen baru. Pun tak mau tertinggal Sinetron dengan cerita dan judul yang sama, kembali diproduksi memasang bintang muda sebagai pemerannya. Melalui tangan dingin sutradara Hanung Bramantyo, menghadirkan Widi Mulia (Sayekti) dan Agus Kuncoro mengganti peran Wawan Wanisar sebagai Hanafi.
Hingar bingar dunia keartisan perlahan ditinggal, setelah Neno memutuskan berhijab. Dunia dakwah dan parenting ditekuni, membentuk karakter sungguh beda hingga kini. Meski namanya tak lagi moncer di dunia hiburan, namun ketokohannya mulai diakui masyarakat. Dengan sapaan akrab Bunda Neno, lekat image  religius disematkan padanya. Bunda Neno memakai bakat menyanyi dan berakting, untuk memperkuat pesan dalam berdakwah.
******
Dokumen Pribadi

Melengkapi perjalanan kehidupannya, bertepatan pada usia 40 tahun (pada 2004) melakukan gebrakan. Menerbitkan buku hasil karya perdananya, dengan judul "Ijinkan Aku Bertutur". Beliau menulis semacam puisi esai, atau puisi yang sedang bercerita. Tak mengherankan kalau puisinya panjang, kemudian beliau menyebut dengan tuturan. Itulah yang menjadi alasan buku pertama, diberi judul "Ijinkan Aku Bertutur".  Rasa keagamaan kental dalam tuturannya, di akhir puisi disertai ulasan yang melatarbelakangi tercetus ide menulis.
Dokumen Pribadi

Satu permenungan yang cukup dalam (menurut saya) adalah puisi terdapat pada halaman 68. Terpapar judul yang menyentuh, "Jalan Ke Khusyu Itu"
Jalan ke khusyu itu bersimbah peluh
Mau berlambat -lambat melafal
Hingga paham semua makna tersurat dan tersirat
Bukan lambat jika datang dipanggil
Melainkan sabar meniti bacaan dengan tartil

Jalan ke khusyu itu
Cepat bersimbah wudhu sebelum waktu
Ketika adzan kumandang, badan tegak dan hati lapang
Buang semua pekerjaan dan pikiran
Ingatnya hanya satu;
Allah, Tuhan, Pengasih Penyayang

Pada puisi ini jelas sekali rasa religinya, bahwa apapun musti melalui sebuah proses. Keseharian dalam kehidupan yang penuh dinamika, tak ubahnya proses menanti waktu menuju haribaan-NYA. Khusyu bisa diartikan dalam ibadah wadag (sholat, puasa), pun bisa diaplikasikan dalam ranah yang lebih luas. Khusyu berperan sebagai ayah atau suami dengan sebaiknya, baik dalam pencarian nafkah pun menjadi nahkoda keluarga. Khusyu sebagai istri atau ibu dengan selurusnya, baik dalam mendidik anak dan mengabdi pada suami. Hanya dengan kekhusyukan akan menyentuh esensi, akan menjumpa dengan kesejatian fungsi akan keberadaan diri. Pada bagian akhir puisi, tertoreh kalimat indah.
Jalan ke khusyu itu
Tak dapat dibuktikan siapa-siapa
Kecuali nanti, sesudah bertemu sendiri melihat WAJAHNYA
Atas izin-NYA kumpul kembali
Sesudah mengelana dalam alam fana
Dan menanggung rindu terindu rindu aduh aduh nian...
*****
Neno Warisman bukan lagi nama seorang selebritis, beliau pernah mengungkapkan lebih nyaman sebagai hamba Allah. Seolah tak hendak melupakan "habitatnya", sesekali masih tampil bernyanyi dan berperan. Namun lagu atau tokoh yang diemban, diselaraskan dengan dakwah dan keagamaan.
Ilustrasi buku (dokpri)

Total ada 41 tuturan bunda Neno tertorehkan, dengan judul yang membuat penasaran. "Aku Ingin Anak Lelakiku Menirumu", "Aku Berdzikir", "Kasih Ibu di Mangkukku", "Hatiku di Antara Dua Jari- jari di Jemarimu". Sketsa dari satu putra dan dua putri beliau, menjadi pelengkap sekaligus ilustrasi puisi. Sehingga terasa pas dan saling mendukung, dengan isi puisi yang disampaikan.
Kini setelah buku ini, sudah menyusul karya beliau berikutnya. " Matahari Odi Bersinar Karena Maghfi" dan " Semua Ayah Adalah Bintang ". Semoga ranah kepenulisan bisa menjadi lahan, untuk perjuangan Bunda Neno setelah mengurangi drastis nyanyi dan seni peran.

24 Mar 2015

Bukan Sembarang Cinta [Resensi Novel]



Cover Novel (dokpri)

Judul Novel     : No Ordinary Love (Beri Cinta Sedikit Waktu)
Penulis             : Ita Sembiring
Penerbit           : Jogja Great Publisher
Halaman          : 200 Hal
Cinta menjadi tema abadi tak berpenghabisan, untuk diangkat dalam sebuah karya. Mungkin sudah tak terhitung lagi, berapa banyak novel, lagu, film yang memasang tema cinta. Kreatifitaslah yang akan menentukan, akankah tema cinta menjadi menarik, biasa, atau justru membosankan. Dengan mengangkat cinta dari berbagai sudut padang, niscaya menjadi tampilan yang berbeda.
Remo lelaki muda dan tampan blasteran Prancis, sedang menjalin hubungan dengan Ligaya. Sebegitu dalam cintanya lelaki sabar dan tekun ini, meniti hari dengan perempuan pujaan. Meskipun kenyataan tak mengenakkan dialami, Ligaya belum mampu melupakan Dello Langit. Cinta pertama Ga panggilan sayang Ligaya, pada sutradara film nyentrik yang dikenalnya. Namun petaka dialamai Ligaya yang sedang kasmaran, Dello membut pengakuan yang mengejutkan. Pria berambut gondrong ini ternyata beristri dengan satu anak, akhirnya cinta terpaksa tak dilanjutkan. Alasan klise tak ingin meninggalkan keluarga, tapi kenapa masih main api juga ya.
Ligaya bukan berarti tak mencintai Remo, secara tak sengaja sering membandingkan. Dua lelaki yang berbeda sifat dan pendirian, yang pernah dan sedang mengisi hatinya. Setiap pergi ke suatu tempat atau makan atau sekedar panggilan dari Remo, kebetulan mengingatkan Ga ada Dello. Hingga akhirnya Remo merasa jengah, memilih untuk menyudahi hubungan. Remo yang berperangi tidak temperamen, memutuskan berpisah dengan baik baik. Sebuah selimut bergambar hati dan sebuah CD lagu "selimut Hati" dari group band Dewa, dipersembahkan saat putus cinta dengan Ligaya. Tak seperti cerita sinteron, keduanya berpisah baik baik dan menjadi teman.
Putusnya hubungan Ligaya dan Remo, membuka kesempatan perempuan lain mengisi hati Remo. Satu nama Fey adalah perempuan teman sekantor, sejak lama memendam hasrat dengan Remo. Namun perempuan manis ini cukup pintar, membungkus perasaan sehingga tak terlalu nampak. Terlebih saat lelaki yang ditaksir masih berstatus pacar Ligaya, Fey tetap menahan dirinya sendiri. Hubungan keduanya bak sahabat, sering ngobrol dan berbagi kisah. Remo tak sungkan menggoda Fey dengan sebutan jomblo, termasuk curhat soal kekasihnya si Ligaya. Hingga akhirnya kesempatan terbuka bagi Fey, mengisi hati Remo pasca putus dengan Ligaya. Saat yang dinanti akhirnya tiba, Remo megungkapkan maksud hati pada Fey. Ibarat Pucuk dicinta ulampun tiba, Fey menerima dengan tangan yang terbuka.
Menjalin hubungan dengan Remo tak seindah bayangan, Fey musti menelan kekecewaan sikap Remo. Sementara Ligaya mulai dilandai kecewa, telah mengabaikan Remo dari hatinya. Pada bagian akhir Novel ini pembaca akan mengetahui, keputusan Remo yang berada dipersimpangan dua perempuan.
****
Penulis Bersama Ibu Ita Sembiring (dokpri)

Cerita yang dituangkan Ita Sembiring sang penulis, cukup ringan dan meghibur. Setting Bali yang dipilih menjadi latar, cukup membawa imajinasi pembaca pada keindahan Pulau Dewata. Nama tokoh sangat mewakili generasi masa sekarang. Ligaya, Fey, Punia, Remo, Dello, adalah nama yang sangat enak di dengar. Setiap judul sub bab dibuat unik, memakai nama tempat dan waktu sebagai patokan cerita. Entah di Pantai, Mall, atau lokasi lain, lengkap dengan jam terjadinya. Sejauh saya membaca banyak novel, baru sekali menjumpai cara yang lain ini.
Selain sebagai penulis Ita Sembiring juga sebagi dosen dan public speaking, karakter ini terasa dalam gaya penulisan. Bahasa tulis yang dipakai mengalir cukup enak, pembaca dibuat geli pada bagian tertentu. Tingkah konyol Fey saat hendak meraih hati Remo, diiringi kesebalan pada Ligaya. Meski nyata nyata naksir pada lelaki teman kantor ini, tapi masih jaim tak melupakan adat sebagai orang timur. Saat monolog Fey di dalam hatinya, adalah kalimat kalimat lucu yang membuat pembaca tersenyum.
Bok Signing bu Ita S (dokpri)

Saya peribadi pernah hadir di kelas ibu Ita sembiring, yang begitu cair dan hangat suasananya. Tak jarang ketika bu Ita sedang di depan kelas, memakai kalimat dan gerak tubuh yang luwes. Kami dalam satu kelas tak bisa menahan tawa, saat menyimak penjelasan beliau. Pada novel ini saya menjempai karakter tersebut, sehingga membuat cerita tak membosankan dan terasa lebih hidup.
Cinta memang perlu kesabaran dan ketelatenan, dan tentu butuh sedikit waktu. Itu pesan yang ingin disampaikan penulis, dan memang benar adanya. Novel yang berjudul "No Ordinary Love", bisa menjadi referensi bagi pembaca. Tak harus anak muda saja, bagi kaum dewasa tak ada salahnya "melahap" novel ini. untuk Ibu Ita Sembiring sukses selalu, ditunggu karya selanjutnya. (salam)

8 Mar 2015

Perjalanan Menjadi Orang Tua (Resensi Buku)


Buku "matahari Odi Bersinar Karena Maghfi" (dokpri)

Tak ada orang tua tak menginginkan, memiliki putra putri yang soleh dan solehah. Tumbuh dan berkembang sehat dalam keutuhan, baik fisik maupun mental. Anak  anak yang menempuh jalan tak berkelok, bisa menjadi kebanggaan hati orang tua. Pun kelak ketika ayah dan ibu berusia lanjut, buah hati penuh perhatian dan sepenuh sayang. Melapangkan dada untuk memeluk hangat, dua orang sepuh yang mulai ringkih badannya.