14 Feb 2016

Perayaan Imlek Perdana & Imlek Masa Kini


Illustrasi (dokpri)
Dalam tubuh saya mengalir deras darah jawa, almarhum Ayahanda berasal dari Ngawi sementara ibu dari lahir sampai saat ini menetap di daerah Magetan.
Semasa kecil para tetua memelihara keyakinan, tentang  benda memiliki daya magis. Kakek dari garis ibu, dikenal orang pintar kala itu. Hampir setiap hari tamu datang, mengadukan segala permasalahan. biasanya saat pulang, dibekali air yang diberi doa atau bungkusan yang tidak saya tahu isinya. Prosesi menyediakan sesajen bersanding asap dupa, tentu tak lagi asing bagi saya.
Masa kecil hingga menjelang dewasa, saya lalui di kampung halaman. Baru selepas sekolah atas, tradisi merantau saya jalani.


0o0
"Dung-dung-dung-dung-dung-dung-dung-dung- CRAZZ-CRAZZ- CRAZZ- thung-thung" "Dung-CRAZZ-dung- CRAZZ -dung- CRAZZ -dung- CRAZZ - thung-thung-thung"
Suara tambur bertalu-talu dengan ritme cepat dan rekat, berpadu bunyi berisik simbal bulat dan pukulan gong kecil di selanya. Tambur menjadi alat paling dominan, mungkin dipukul dalam hitungan setengah atau seperempat saking kerapnya. Simbal tak mau kalah menonjolkan diri, mengimbangi performa tambur. Sementara gong kecil, sebagai alat pelengkap terlihat kurang dominan.
Segerombolan anak muda bermata sipit, memakai kaos seragam warna merah dengan huruf kanji di bagian belakang. celana putih gombrong berbahan ringan, layaknya celana pangsi khas Betawi. Menilik wajah dan perawakan yang segar, saya taksir berusia rentang duapuluh sampai tigapuluhan tahun.
Bertempat di daerah Pandegiling Surabaya, saya mendapati keramaian semacam ini. Kebetulan saat itu saya rutin seminggu dua kali, mengikuti kelas Bahasa English di daerah tersebut. Tak jauh dari tempat kursus, klenteng berdiri megah dengan ornamen khas. Prosesi beribadah umat Kong Hu Chu, sering terlihat dengan membakar lidi panjang mengeluarkan asap. Mengingatkan saya pada almarhum Kakek, ketika masa kecil sedang saya tapaki.
Namun hari itu ada yang lain, kali pertama dalam hidup saya menyaksikan pertunjukkan unik. Naga terbuat dari bahan warna warni merah-putih-kuning, dengan rumbai warna senada. Benak ini langsung berkesimpulan, ini adalah budaya Tiong Hwa.
Yup, Rezim pemerintahan berganti.
Orde baru telah tumbang, setelah demo mahasiswa hampir dari seluruh penjuru negri. Pada awal tahun 2000, KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) Presiden ke empat membuka angin segar. Warga Thiong Hwa diberi angin kebebasan, merayakan tradisi dan budayanya.
"Opo seh iku rek ?" celetuk teman asli Surobyo dengan logatnya yang khas
"Reogke wong Chino" balas teman sekenanya.
Kalimat Barongsai masih asing, terutama bagi saya penduduk pribumi yang kenal wayang dan reog. Maka saya tak berniat meluruskan, istilah "Reogke wong Chino" sedang saya sendiri belum tahu namanya.
Masih jelas di ingatan, atraksi memukau anak-anak muda. Yang sungguh menyedot perhatian, adalah atraksi Barongsai atau pertunjukkan liong. Naga sebagai binantang yang dikeramat bagi orang Tiong Hwa, dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tampil menarik. Dua pemain terlihat lincah dan lihai, bekerjasama dalam memainkan perannya. Meliuk-liuk berputar, sangat piawai menguasai panggungnya. Meski di jalanan yang tak begitu luas, nyatanya pemain barongsai mampu meloncat kesana kemari dengan bebasnya.
Sesekali pemain yang berada di bagian kepala naga, naik disunggi (duduk di pundak) pemain bagian belakang. gaya memainkan kepala naga dengan lidah menjulur, sangat mempesona saya dan penonton saat itu. Beberapa saat kepala naga diatas, posisi kembali mendarat bagai berjalan melata.
WHAAAAA!!! Semua penonton dibuat kaget.
Saat kepala naga mendadak mendekati penonton, dengan gerakkan menggeleng-geleng.  Spontan saja ekspresi kaget berubah, disusul  tawa bersama menjadi pemandangan wajar. Begitu berulang-ulang dilakukan sang pemain, menerbitkan kemeriahan tak berkesudahan.
Tetabuhan tambur terus  bertalu, berpadu dengan simbal dan gong.  Gerakan tarian liong semakin atraktif, disambut sorak sorai penonton yang terhibur. Keceriaan hinggap disetiap wajah, membiaskan suka-cita yang mendalam. Saya hanyut dalam kemeriahan tarian Liong, penanda hari raya Imlek telah tiba.
Memang kala itu Barongsai masih asing, apalagi bagi saya yang asli jawa. Namun keramaian yang ada, tetaplah memantik rasa penasaran. Kala itu lampion, angpao, busana Cici dan Koko belum begitu semarak di pusat perbelanjaat atau dijual area umum. Namun pintu keterkungkungan rupanya telah terbuka,  ruang bagi saudara Thiong Hwa berekspresi telah tersedia.
Sejak saat itu tahun ke tahun berjalan, tradisi Imlek menjadi tradisi. Hari raya China tampil semakin menawan, menghadirkan hiburan bagi masyarakat luas.
Februari 2016
Setiap memasuki bulan kedua, hari raya Imlek seolah menjadi kesatuan. Perayaanpun semakin meriah, siapa saja bisa berpartisipasi memakai baju warna merah atau khas China. Pusat perbelanjaan berlomba, bersolek dengan dominasi warna Imlek. Lomba fashion show khusus Cici Koko diselenggarakan, kue keranjang dan angpoa dihidangkan. 
Imlek di Pusat Perbelanjaan (dokpri)

Rekan Blogger Memetik Angpao (dokpri)
Imlek tahun ini saya tak mau ketinggalan, menghadiri undangan bersama teman blogger. Menikmati manisnya kue keranjang, menyaksikan penampilan barongsai dengan atraksi liong-nya yang tak pernah kunjung membosankan. 
O'ya, spesial tahun ini saya dipersilakan pengundang memetik angpao. Ketika dibuka, mendapat souvenir berupa gantungan kunci berbentuk lampion. Indahnya Imlek, menjadi bagian dari kekayaan dan tradisi bangsaku yang beragam. (salam)
"Tulisan ini diikutsertakan dalam Telisik Imlek Blog Competition JakartaCorners yang di Sponsori oleh Batiqa Hotels "

6 komentar:

  1. Tradisi unik ya, atraksinya menggugah :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. sepakat, atraktif dan menakjubkan
      trimakasih mbak Ani

      Hapus
  2. Sukses dengan kompetisinya, mas

    BalasHapus
  3. Akulturasi budaya yang menyenangkan sekali :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. waktu pertama melihat Barongsai
      bener2 exited saya :)

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA