28 Mar 2015

Surga yang Paling Dekat [Review Film]



Poster Ada Surga Di Rumahmu (dokpri)
"Wahai Rasulullah siapa yang harus aku hormati" tanya seorang sahabat suatu ketika.  "Ibumu" Jawab  Rasul.
"Kemudian siapa lagi Ya Rasul"tanya sahabat.  "Ibumu" ulang Rasulullah.
"Kemudian siapa lagi wahai Rasul"sahabat bertanya lagi.  "ibumu" jawab Rasulullah lagi.
"Kemudian siapa lagi Rasulullah" sahabat  masih bertanya. "Ayahmu" Jawab Rasulullah
Penggalan percakapan  Rasulullah dengan seorang  sahabat, menjadi penguat keberadaan ibu yang begitu penting. Bahkan  manusia pilihan itu menjawab tiga kali, perihal letak kedudukan seorang ibu,  sebelum yang keempat barulah ayah.
Sutradara Aditya Gumay mengangkat pesan penting ini, dalam sebuah karya bertajuk "Ada Surga Di Rumahmu" (ASDR). Melalui bendera Mizan Production, menjadi kerjasama kedua setelah "Emak Pengin Naik Haji". 
Fenomena yang berlangsung dewasa ini, memang sungguh miris dan memprihatinkan. Kerap terkabar di media massa, anak tega membunuh ibu atau ayahnya karena persoalan sepele. Bahkan ada yang membawa masalah dengan orang tua, ke ranah hukum sampai ibu atau ayahnya di sidang. Jaman yang semakin renta, anak sudah jauh dari kata berbakti. Berangkat dari keprihatinan ini Mizan Production, mempersembahkan alternatif tontonan bagi pecinta bioskop tanah air.
*****
Suasana Conpres (dokpri)

Ramadhan bocah tinggal di sekitar sungai Musi Palembang, setiap sore rajin mengaji di musholla dekat rumah. Memiliki cita cita menjadi artis terkenal, kerap tampil di televisi dan banyak duit. Berasal dari keluarga kebanyakan, sang ayah memiliki warung dan ibu menjahit. Suatu ketika sang ayah melontarkan ide, Ramadhan dimasukkan ke Pesantren. Kebetulan pengasuh pondok adalah sang paman (adik dari ayah), jadi bisa dititipkan secara khusus. Dunia pesantren tak terlalu detil diterjemahkan, namun secara garis besar bisa ditangkap penonton.
Ramadhan mulai tumbuh besar, bersama dua sahabat mejadi pengajar di Pesantren. Sesekali mengujungi rumah, menemui ibu ayah dan gadis tetangga bernama Nayla. Sejak kecil gadis ini ibunya sudah meninggal, menganggap ibu Ramadhan seperti ibunya sendiri. Tak disangka antara ramadhan dan Nayla tumbuh, perasaan ketertarikan layaknya seorang lelaki dan perempuan. Ustad Attar pengasuh pondok pesantren semakin tua, didera penyakit gagal ginjal. Raganya tak begitu kuat, sehingga kalau ada undangan ceramah diwakilkan. Ramadhan yang direkomendasikan kepada pengundang, mengisi ceramah dihadapan majelis pengajian. Kerap mengisi ceramah membawa satu keberuntungan, Ramadhan dihubungi stasiun televisi untuk tampil.
Ramadhan anak yang berbakti, selalu teringiang nasehat ustad Attar. Bahwa Ridho Allah tergantung Ridho orang tua, bahwa surga bisa diraih melalui bakti pada orang tua. Tak perlu lagi jauh jauh mencari surga, sesungguhnya surga terdekat ada di rumah yaitu ibu, ibu, ibu, kemudian ayah.
***
Adegan ASDR (dokpri)

Cerita yang tertuang dalam film ini dikemas ringan, penonton tak perlu mengerutkan kening mengikuti kisahnya. Tak terlalu menonjol adegan kekerasan dan menegangkan, aman membawa serta anak anak karena nihil adegan dewasa. Aksi pemain rata rata cukup bagus, tak ada acting yang terlalu kaku. Husein Idol yang dipasang sebagai bintang, cukup bisa memegang peranan.
Sepanjang scene yang melibatkan perasaan bakti pada ibu, penonton akan dikuras air mata. Penataan musik mampu menghidupkan suasana, menyatu dengan pesan yang hendak disampaikan. Saya pribadi tak lepas dari rasa haru, ketika si Ramadhan menunjukkan bakti pada ibu dan ayahnya.
Sedikit yang saya cermati dan agak janggal, adalah seorang ustad muda mengekspresikan rasa suka pada Nayla. Pergi berdua melewatkan waktu di pinggir sungai Musi, bahkan sempat selfi berdua dengan kamera handphone. Kemudian juga berboncengan dengan vespa berdua, meski nayla bilang bukan mahram. Meski saat conpres sang pemain bilang tidak ada adegan sentuhan, namun tetap terasa kurang pas. Bukankah seorang ustad pasti sudah tahu ilmunya, bahwa apabila ada dua orang berlainan jenis berduaan maka yang ketiga adalah setan.
Selebihnya film ini menjadi tontonan yang menghibur, dan pesa yang disampiakan sukses ke benak penonton. Jadi tak perlu mencari surga di tempat lain, ternyata ada di setiap rumah yaitu ibu. (salam)

27 Mar 2015

Menempuh Onak Duri, Hingga ke Abon Jambrong Unia


Abon Jambrong Unia (dokpri)

Perjalanan kehidupan manusia sangat dinamis, drastis naik pun turun tanpa dinyana. Bisa saja suatu saat berada di atas berjaya, selang beberapa waktu  jatuh tersungkur. Semua skenario dipersembahkan Sang Pencipta, tak ada yang sia sia bagi manusia itu sendiri. 
Kita mahkluk istimewa dianugerahi akal dan budi, mampu dan dimampukan melampui segenap peristiwa kehidupan. Mengambil hikmah dari setiap keadaan, bertransformasi menjadi fitrah diri yaitu sebagai makhluk mulia. 

25 Mar 2015

Jalan ke Khusyu Itu [Resensi Buku]


Cover Buku "Ijinkan Aku Bertutur" (dokpri)
Siapa tak kenal nama Neno Warisman, Penyanyi, Pemain Sinetron dan Bintang Film era 80-an. Kualitas vokalnya tak diragukan, melengking menggapai nada nada tinggi. Semasa jayanya beberapa lagu hits sudah dicetak, sebut saja  lagu berjudul  Matahariku, Kulihat Cinta di Matanya, Kebangkitan, Biar Saja. Bahkan satu lagu duet dikenang hingga sekarang, adalah Nada Kasih yang dibawakan bersama Fariz RM. Tak berhenti  hanya merambah di dunia tarik suara, teater yang menjadi background berkesenian diseriusi. Maka satu judul Sinema Elektronik TVRI, bertitel  Sayekti dan Hanafi sutradara Irwinsyah mematri namanya. Kualitas akting yang mumpuni dan prima, memantaskan nama beliau menjadi pemain papan atas. Sebagai bukti atas keberhasilannya, Piala Vidia menjadi ganjaran atas sukses tokoh mbok gendong yang diperani.
Setelah masa berlari jauh berlalu, lagu Nada Kasih direkam ulang oleh penyanyi muda. Vokal dari penyanyi Rio Febrian berduet dengan Erra farzira, menjadi lagu Nada Kasih versi dan aransemen baru. Pun tak mau tertinggal Sinetron dengan cerita dan judul yang sama, kembali diproduksi memasang bintang muda sebagai pemerannya. Melalui tangan dingin sutradara Hanung Bramantyo, menghadirkan Widi Mulia (Sayekti) dan Agus Kuncoro mengganti peran Wawan Wanisar sebagai Hanafi.
Hingar bingar dunia keartisan perlahan ditinggal, setelah Neno memutuskan berhijab. Dunia dakwah dan parenting ditekuni, membentuk karakter sungguh beda hingga kini. Meski namanya tak lagi moncer di dunia hiburan, namun ketokohannya mulai diakui masyarakat. Dengan sapaan akrab Bunda Neno, lekat image  religius disematkan padanya. Bunda Neno memakai bakat menyanyi dan berakting, untuk memperkuat pesan dalam berdakwah.
******
Dokumen Pribadi

Melengkapi perjalanan kehidupannya, bertepatan pada usia 40 tahun (pada 2004) melakukan gebrakan. Menerbitkan buku hasil karya perdananya, dengan judul "Ijinkan Aku Bertutur". Beliau menulis semacam puisi esai, atau puisi yang sedang bercerita. Tak mengherankan kalau puisinya panjang, kemudian beliau menyebut dengan tuturan. Itulah yang menjadi alasan buku pertama, diberi judul "Ijinkan Aku Bertutur".  Rasa keagamaan kental dalam tuturannya, di akhir puisi disertai ulasan yang melatarbelakangi tercetus ide menulis.
Dokumen Pribadi

Satu permenungan yang cukup dalam (menurut saya) adalah puisi terdapat pada halaman 68. Terpapar judul yang menyentuh, "Jalan Ke Khusyu Itu"
Jalan ke khusyu itu bersimbah peluh
Mau berlambat -lambat melafal
Hingga paham semua makna tersurat dan tersirat
Bukan lambat jika datang dipanggil
Melainkan sabar meniti bacaan dengan tartil

Jalan ke khusyu itu
Cepat bersimbah wudhu sebelum waktu
Ketika adzan kumandang, badan tegak dan hati lapang
Buang semua pekerjaan dan pikiran
Ingatnya hanya satu;
Allah, Tuhan, Pengasih Penyayang

Pada puisi ini jelas sekali rasa religinya, bahwa apapun musti melalui sebuah proses. Keseharian dalam kehidupan yang penuh dinamika, tak ubahnya proses menanti waktu menuju haribaan-NYA. Khusyu bisa diartikan dalam ibadah wadag (sholat, puasa), pun bisa diaplikasikan dalam ranah yang lebih luas. Khusyu berperan sebagai ayah atau suami dengan sebaiknya, baik dalam pencarian nafkah pun menjadi nahkoda keluarga. Khusyu sebagai istri atau ibu dengan selurusnya, baik dalam mendidik anak dan mengabdi pada suami. Hanya dengan kekhusyukan akan menyentuh esensi, akan menjumpa dengan kesejatian fungsi akan keberadaan diri. Pada bagian akhir puisi, tertoreh kalimat indah.
Jalan ke khusyu itu
Tak dapat dibuktikan siapa-siapa
Kecuali nanti, sesudah bertemu sendiri melihat WAJAHNYA
Atas izin-NYA kumpul kembali
Sesudah mengelana dalam alam fana
Dan menanggung rindu terindu rindu aduh aduh nian...
*****
Neno Warisman bukan lagi nama seorang selebritis, beliau pernah mengungkapkan lebih nyaman sebagai hamba Allah. Seolah tak hendak melupakan "habitatnya", sesekali masih tampil bernyanyi dan berperan. Namun lagu atau tokoh yang diemban, diselaraskan dengan dakwah dan keagamaan.
Ilustrasi buku (dokpri)

Total ada 41 tuturan bunda Neno tertorehkan, dengan judul yang membuat penasaran. "Aku Ingin Anak Lelakiku Menirumu", "Aku Berdzikir", "Kasih Ibu di Mangkukku", "Hatiku di Antara Dua Jari- jari di Jemarimu". Sketsa dari satu putra dan dua putri beliau, menjadi pelengkap sekaligus ilustrasi puisi. Sehingga terasa pas dan saling mendukung, dengan isi puisi yang disampaikan.
Kini setelah buku ini, sudah menyusul karya beliau berikutnya. " Matahari Odi Bersinar Karena Maghfi" dan " Semua Ayah Adalah Bintang ". Semoga ranah kepenulisan bisa menjadi lahan, untuk perjuangan Bunda Neno setelah mengurangi drastis nyanyi dan seni peran.