Judul Buku : Memang Jodoh
Penulis : Marah Rusli
Penerbit : Mizan
Sebuah janin yang masih
ada di rahim ibunda siap ditiupkan ruh ketika menginjak usia 4 bulan,
ditetapkan baginya rejeki, jodoh dan ajalnya.
Kita masing masing manusia membawa takdir yang sudah digariskan dan pasti yang
terbaik menurut Tuhan. Pun semua
peristiwa yang manusia alami tertulis di lauh mahfuds, begitulah sunatullah
bekerja .
Dalam kehidupan manusia
ada kebiasaan atau adat yang dijalankan secara turun menurun dan akhirnya dikukuhkan
sebagai aturan baku untuk acuan generasi
setelahnya, kadang ada yang keukeuh mempertahankan adat dengan dalih warisan leluhur
yang harus dijalankan tanpa berkelit.
Seiring perkembangan jaman ketika arus informasi
dan pengetahuan terbuka lebar di segala lini, lambat laun adat istiadat mau tak
mau akan ada yang terkoreksi, kaum cendikia yang semakin kritis akan merasa
gerah dengan tradisi yang dirasa “membelenggu”, novel Memang Jodoh karya Marah
Rusli adalah gambaran perbenturan adat dengan idealisme seorang anak muda dalam
menyikapi adat istiadat yang dipandang kurang relevan.
Pintu
Gerbang itu bernama Pendidikan
Ketika Rasulullah
bertafakkur di gua Hira wahyu petama yang disampakan malaikat jibril adalah “
Iqra” yang artinya baca, menjadi sebuah keniscayaan bahwa membaca akan menjadi
pintu pembuka bagi ilmu pegetahuan, orang berilmulah yang akan sanggup memilih
dan memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik, bahkan secara tegas dalam
Qur’an termaktub janji Allah akan meninggikan derajad bagi kaum yang berilmu
dan beriman (Al Mujadallah - Qs 58 ; 11).
Sosok Marah Hamli
adalah pemuda yang sadar dengan pentingnya pendidikan, setelah bersekolah di
Sekolah Raja Buki Tinggi hendak melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi Belanda,
dukungan sang ayah yang berprofesi sebagai Hopjaksa di Medan tentu meringankan
langkah untuk bersekolah setinggi tingginya. Saya kagum
dengan sikap dan keputusan Marah Hamli yang pada masanya sudah menyadari arti pentingnya
pendidikan.
Dengan ilmu pula tokoh
Marah hamli mengetahui bahwa ridho ibu adalah soko guru dan pondasi awal bagi
langkah hidupnya, maka setelah keputusan melanjutkan sekolah ke negri seberang
disampaikan ke ibunda dengan segala pertimbangan sang ibu keberatan sehingga
dengan penuh kesadaran dikuburlah cita citanya meneruskan sekolah ke Belanda
dan diganti bersekolah di tanah Jawa tepatnya di kota Bogor.
Sungguh solusi yang
sama sama menyenangkan keduabelah pihak, Siti Anjani sang ibu tidak ditinggal
terlalu jauh sementara niat bersekolah tetap bisa dijalankan.
Kuat
memegang Prinsip
Keteguhan Marah Hamli pada pendiriannya untuk mempunyai
satu istri, adalah sikap yang akan mendapat banyak pertentangan.
Sebagai lelaki berdarah bangsawan yang mengalir di tubuhnya tak
serta merta dimanfaatkan untuk memperistri banyak perempuan, meskipun dalam
adat yang berlaku di negrinya (dalam cerita novel ini) seorang lelaki akan
dihidupi keluarga mempelai perempuan dan menjadi tanggungan mamaknya.
Hamli menolak
dengan tegas keistimewaan yang dipersembahkan kepadanya, sebagai lelaki sudah
seharusya memberi nafkah lahir dan batin kepada istrinya, sekaligus harus
memuliakan istri sebaik baiknya.
Sikap
Hamli yang berseberangan
menuai kritik tajam dari kaum kerabat, dengan lapang dada pula Hamli menerima segala
konsekwensinya bahkan siap dikucilkan dan tidak dianggap. Bahkan Marah Hamli rela
tercerabut dari akarnya karena memang dengan nyata diketahui bahwa perlakuan
yang tidak adil terhadap kaum perempuan
harus diputus mata rantainya.
Setelah
merantau di Jawa Marah Hamli bertemu dengan
Din Wati perempuan berdarah Sunda yang tinggal di Bogor Jawa barat, Penentangan
perkawinan dua suku ini juga datang dari keluarga mempelai perempuan, namun
sikap Din Wati (calon istri) tak ubahnya seperti sikap Hamli, berdua mereka pasang
badan menghadapai benturan benturan dahsyat dengan sabar dan hati lapang.
Segala macam cobaan
dapat dihalau sampai badai itu berlalu dengan sendirinya, termasuk ketika
datang seorang utusan keluarga Hamli yang hendak menggunakan ilmu hitam untuk
mengguna guna Din Wati agar stress.
Cobaan tak serta merta reda bahkan setelah
Hamli resmi menikahi Din Wati upaya perjodohan Hamli dengan perempuan sesuku
tak lantas berhenti.
Dari pihak mamak dari
garis keluarga Hamli memperkenankan anak perempuannya dijadikan istri kedua
meskipun hanya dengan pernikahan sesaat setelah itu dijatuhkan talak, tujuan
semula agar Hamli masih disebut patuh dengan adat.
Hamli tetaplah lelaki
yang menjunjung harkat perempuan, keinginan keluarga sanggup dipenuhi dengan
syarat semua kondisi yang akan dialami pihak perempuan dibicarakan diawal
pernikahan, jangan sampai gagasan ini hanya untuk keuntungan pihak lelaki semata
sementara pihak perempuan tidak diberitahu, syarat berat ini tentu tak bisa
dijalankan. Secara logika tidak ada keluarga yang mau anak perempuan
diperlakukan seenaknya akhirnya ide ini lenyap begitu saja.
Sampai akhirnya upaya
nekad datang dari keluarga besar Hamli dengan cara menikahkan diam diam di
belakang Hamli dengan perempuan sesuku, perkawinan di Padang saat itu
membolehkan sang lelaki diwakilkan lelaki lain atau sebilah keris.
Pada saat
Hamli sudah menjadi pegawai pertanian di Blitar tiba tiba datang surat kawat agar
menjemput istrinya di stasiun, kabar menegjutkan ini membuat Din Wati berniat
kembali pulang ke Bogor.
Sikap Hamli sangat jelas bahwa dia tak mengamini, dibalaslah
telegram itu dengan menegaskan bahwa tak pernah ada perkawinan atas dirinya dengan perempuan selain dengan Din Wati istri syahnya.
Lelaki
Baik untuk Perempuan Baik
Sebagai
lulusan Sekolah tinggi Pertanian akhirnya Hamli mengabdi sebagai Pegawai pemerintahan, tugas yang diemban menuntutnya untuk berpindah pindah tempat, dari Sumbawa,
Blitar, Cirebon, Jakarta, Semarang semua dijalani dengan tabah.
Din Wati sebagai
istri sangat setia mendampingi dan mensupport suami kapanpun dimanapun dan
kemanapun, yang unik adalah ketika Hamli
menghadap kepala jawatan hendak dipindahkan ke Payakumbuh Sumatra barat dengan
tegas dia menolak dan memilih melepaskan pekerjaan, pindah ke kota tersebut tak
memungkinkan bisa mengajak serta anak istrinya.
Din Wati seolah tak
peduli dengan garis kebangsawanan yang mengalir dalam tubuhnya, perempuan
lembut dan hebat ini menerima sang suami apa adanya, bahkan ketika masa sulit
dia mau berjualan demi mencukupkan kebutuhan.
Demi menghemat pengeluaran rumah
tangga Din Wati pula yang mengusulkan mengirim persembahan kue bolu besar yang
lezat cita rasanya kepada Sultan Sumbawa yang hendak mengawinkan putrinya, tanpa di nyana persembahannya dibalas dengan
seserahan yang lebih banyak karena Sultan merasa suka hati dengan persembahan lezat
dari Hamli dan keluarga.
Layaknya
perjalanan biduk rumah tangga yang tak lepas dari naik turunya badai kehidupan,
justru ketidakenakkan ketidakenakkan inilah yang menguatkan hubungan Hamli dengan
Din wati, perjalanan panjang sebagai suami istri yang semula ditentang keluarga
besar Hamli akhirnya dapat dibuktikan mampu bertahan sampai usia emas
perkawinan.
Novel
Klasik
Nama besar Marah Rusli telah menjadi
legenda dalam dunia satra di Indonesia, karya fenomenal Siti Nurbaya tak akan
bisa dihapus dalam sejarah perjalanan kesusastraan. Bahkan HB Yasin menyematkan gelar sebagai
Bapak Roman Modern.
Saya sebagai
generasi yang lahir jauh setelah sastrawan ini meninggal cukup terkagum kagum dengan
karya besar beliau, bahasa yang tertulis dalam novel setebal lebih dari 500
halaman ini membuka cakrawala tentang keindahan kosa kata pada masa itu.
Pemilihan bahasa yang “nyastra” tersebar rata di setiap halaman dan cukup
menanamkan banyak perbendaharaan kalimat pada pikiran saya
Namun
saya cukup mengeryitkan dahi pada bagian Siti Anjani ibunda Hamli yang baru
dikabari tentang pernikahan Hamli dan Din Wati sekitar tiga tahun setelah ijab
kabul, saya tidak paham kenapa sang ibu tak diberitahu sebelum pernikahan
dilangsungkan apapun alasannya, kemudian perihal penyakit pilu yang mendera
Hamli sebelum bertemu dengan jodohnya yaitu Din Wati berhasil membuat penasaran
saya tak berkesudahan, sejenis apakah penyakit pilu itu?
Secara keseluruhan Novel ini benar benar memberi cita
rasa yang berbeda dengan sebagian besar novel yang hadir di pasaran, sangat
rekomended bagi generasi masa kini agar menjadi “nutrisi” yang menyehatkan
batin. Sambil berharap semoga ada “harta karun” dari sastrawan besar lainnya
yang (siapa tahu) masih disimpan oleh anak keturunannya. Bravo Marah Rusli.