14 Jan 2018

Pentingnya Peran Serta Masyarakat dalam Industri Perfilman Nasional


Sarasehan Peranserta Masyarakat Film yang diadakan di Gedung PPHUI Jakarta Selatan -dokpri

Dewasa ini, dunia perfilman tanah air sedang marak. Nyaris dalam hitungan hari, selalu bermunculan judul baru dilaunching.
Kenyataan ini menggembirakan, sebagai indikasi, meningkatnya produktifitas sineas tanah air, sekaligus respon positif dari masyarakat.

Beberapa judul film Indonesia, mencetak box office. Menembus angka jutaan penonton, berkat kerja keras dan kerja kolektif para pelaku film.
Secara kualitas juga dapat dibuktikan, dengan diraihnya berbagai penghargaan baik di dalam atau di luar negeri.

Keadaan ini tidak boleh diabaikan, musti dimbangi dengan peran serta masyarakat dan penggiat perfilman.
Satu diantaranya, dengan menggelar forum-forum diskusi dan kegiatan pendukung dunia perfilman tanah air.

Pada minggu kedua Januari, Masyarakat Perfilman mengadakan Sarasehan. Acara digelar di Gedung PPHUI (Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail), berlangsung dengan format santai namun serius.

Tampak hadir dalam acara Sarasehan, perwakilan dari Komisi 10 DPR RI, Produser, Pemerhati film, Wartawan dan Blogger tentunya.

Menyoal peran wartawan, ternyata tidak bisa lepas dari sejarah Perfilman Indonesia. Satu diantara nama wartawan yang berjasa, adalah Haji Usmar Ismail yang kini melegenda. Namanya diabadikan, sebagai nama gedung Pusat Perfilman.

Dari Sarasehan ini, saya menimba banyak pengetahuan tentang film. Sebagai orang awam, terbuka kenyataan, banyak hal musti dibenahi di Industri perfilman tanah air.
Perihal Undang-Undang Perfilman, yang sejak sembilan tahun ditetapkan, ternyata belum sepenuhnya dijalankan.

Mengapa UU Perfilman Tertinggal ?
Inilah tema Sarasehan “Peran Serta Masyarakat Perfilman.” Keberadaan UU perfilman no 8/1992 pernah digugat MK, sehingga perlu dibuat UU yang lebih demokratis.
Melalui berbagai proses, sampai akhirnya lahir UU 33/ 2009, yang mengamanatkan banyak hal.

Namun, kenyataan berbicara lain. Sejak lahirnya UU 33/2009, hanya diikuti terbitnya satu PP saja, yaitu PP tentang Lembaga Sensor Film (LSF). LSF sendiri, terpisah dari Masyarakat Perfilman.

Akibat dari ketiadaan peraturan turunan UU Perfilman, ketidakadilan berlangsung, terutama dalam penyelenggaraan usaha perfilman” Kata Wina Armada, Wartawan senior dan kritikus film yang hadir pada acara Sarasehan.

Film Indonesia diberlakukan tidak adil, produser takut bersuara meskipun usaha film merugi miliaran rupiah, karena kawatir digencet dan tidak diberi lesempatan untuk bisa tetap memproduksi dan mengedarkan filmnya” tambah Wina
Sarasehan berlangsung santai namun serius -dokpri

Sementara Rully Sofyan dari Asirevi menambahkan, “UU perfilman benar-benar terjegal oleh kekuatan politik bisnis yang besar

Alibat tidak hadirnya PP turunan, berpeluang menimbulkan “anarkis” dalam penyelenggaraan perfilman. Paling sering didapati, adalah jatah layar bagi film Indonesia.

Film nasional, seharusnya mendapat porsi 60% terlepas dari mutu. Hal ini, bukan berarti mengebiri film barat.
Bagaimanapun, kita sangat perlu belajar dari film barat. Hanya porsi film barat perlu dibatasi, guna mencegah terjadinya dominasi film asing.

 Kami seperti mengemis di negeri sendiri. Lalu di mana pelaksanaan Undang-undang itu? Di mana payung hukum itu ? Di mana komitmen pemerintah yang katanya ingin memajukan film Indonesia dan menjadikan film Indonesia tuan rumah di negara sendiri? ” keluh Evry Joe, seorang Produser Film,

Sungguh, sebagai penikmat film, kondisi ini baru saya dapati. Keadaan yang tidak menguntungkan, berpotensi mengancam keberlangsungan film itu sendiri.

Dadang Rusidana, Anggota Komisi 10 DPR RI, berkesempatan hadir dalam acara Sarasehan. menyampaikan, “ Bicara perfilman bicara komitmen Presiden, ekonomi kreatif sebagai pilar ekonomi Indonesia. Negara Indonesia akan maju, salah satunya melalui sektor ekonomi kreatif, film adalah sub sektor dari ekonomi kreatif.”

Komisi 10 DPR RI telah membentuk Panitia Kerja (Panja) Film, untuk mendalami apa yang menjadi persoalan Perfilman Indonesia.
Sempat terjadi beda pendapat antar anggota, dalam menyikapi UU tahun 2009. Mengingat dari sisi kelembagaan, perfilman berada di dua institusi yang menaungi yaitu Kemdikbud dan Bekraf.

Kemdikbud memandang, film sebagai misi kebudayaan, bertujuan menguatkan budaya di tengah pergaulan global. Sementara Bekraf, bicara film dari aspek bisnis.

Sementara Lembaga yang dibentuk UU, tidak bisa berjalan optimal karena tidak diberi porsi yang jelas oleh negara. Dalam aspek pendanaan, juga mengalami kesulitan, apalagi perlindungan terhadap insan perfilman

Perlu usaha bersama, agar UU 33/2009 segera diejawantahkan. Terpecahnya masyarakat perfilman terjadi, karena sikap pemerintah yang abai terhadap PP.

Pemerintah musti didorong, serius melindungi kebudayaan, melalui Undang-undang yang diamanahkan DPR. Selama tidak ada Peraturan Pelaksana, sebuah produk UU tidak akan bisa berjalan dengan baik.

Butuh peran serta semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat luas, untuk mendorong Pemerintah lebih memperhatikan kondisi perfilman.
Contoh paling simple, adalah menggunakan media sosial, demi menyuarakan ketimpangan yang terjadi pada Masyarakat perfilman.

Sarasehan siang hari ini, adalah sebagai upaya bersuara. Kalau saja hal serupa dilakukan secara kontinue, bukan mustahil perubahan nyata akan terjadi.

sarasehan ini digagas oleh Masyarakat Perfilman dengan mengajak wartawan film, untuk mengkritisi kondisi Perfilman yang sebenarnya. Rencananya sarasehan serupa, akan berlangsung secara berkala dengan topik berbeda” Ujar Akhlis Suryapati, selaku moderator.
Saya sepakat, musti diperbanyak kegiatan serupa dengan Sarasehan, diadakan dari beragam kalangan. Agar kondisi dunia perfilman tanah air, memihak kepada Film produksi anak negeri. –salam-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA