25 Jun 2014

Takdir VS Adat (Resensi Novel Memang Jodoh)


Judul Buku        : Memang Jodoh
Penulis              : Marah Rusli
Penerbit            : Mizan

Sebuah janin yang masih ada di rahim ibunda siap ditiupkan ruh ketika menginjak usia 4 bulan, ditetapkan baginya  rejeki, jodoh dan ajalnya. Kita masing masing manusia membawa takdir yang sudah digariskan dan pasti yang terbaik  menurut Tuhan. Pun semua peristiwa yang manusia alami tertulis di lauh mahfuds, begitulah sunatullah bekerja .
Dalam kehidupan manusia ada kebiasaan atau adat yang dijalankan secara turun menurun dan akhirnya dikukuhkan sebagai aturan baku untuk  acuan generasi setelahnya, kadang ada yang keukeuh mempertahankan adat dengan dalih warisan leluhur yang harus dijalankan tanpa berkelit. 

Seiring perkembangan jaman ketika arus informasi dan pengetahuan terbuka lebar di segala lini, lambat laun adat istiadat mau tak mau akan ada yang terkoreksi, kaum cendikia yang semakin kritis akan merasa gerah dengan tradisi yang dirasa “membelenggu”, novel Memang Jodoh karya Marah Rusli adalah gambaran perbenturan adat dengan idealisme seorang anak muda dalam menyikapi adat istiadat yang dipandang kurang relevan.

Pintu Gerbang itu bernama Pendidikan

Ketika Rasulullah bertafakkur di gua Hira wahyu petama yang disampakan malaikat jibril adalah “ Iqra” yang artinya baca, menjadi sebuah keniscayaan bahwa membaca akan menjadi pintu pembuka bagi ilmu pegetahuan, orang berilmulah yang akan sanggup memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik, bahkan secara tegas dalam Qur’an termaktub janji Allah akan meninggikan derajad bagi kaum yang berilmu dan beriman (Al Mujadallah - Qs 58 ; 11).

Sosok Marah Hamli adalah pemuda yang sadar dengan pentingnya pendidikan, setelah bersekolah di Sekolah Raja Buki Tinggi hendak  melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi Belanda, dukungan sang ayah yang berprofesi sebagai Hopjaksa di Medan tentu meringankan langkah untuk bersekolah setinggi tingginya. Saya kagum dengan sikap dan keputusan Marah Hamli yang pada masanya sudah menyadari arti pentingnya pendidikan.

Dengan ilmu pula tokoh Marah hamli mengetahui bahwa ridho ibu adalah soko guru dan pondasi awal bagi langkah hidupnya, maka setelah keputusan melanjutkan sekolah ke negri seberang disampaikan ke ibunda dengan segala pertimbangan sang ibu keberatan sehingga dengan penuh kesadaran dikuburlah cita citanya meneruskan sekolah ke Belanda dan diganti bersekolah di tanah Jawa tepatnya di kota Bogor.

Sungguh solusi yang sama sama menyenangkan keduabelah pihak, Siti Anjani sang ibu tidak ditinggal terlalu jauh sementara niat bersekolah tetap bisa dijalankan.

Kuat memegang Prinsip

Keteguhan Marah Hamli pada pendiriannya untuk mempunyai satu istri, adalah sikap yang akan mendapat banyak pertentangan. 

Sebagai lelaki berdarah bangsawan yang mengalir di tubuhnya tak serta merta dimanfaatkan untuk memperistri banyak perempuan, meskipun dalam adat yang berlaku di negrinya (dalam cerita novel ini) seorang lelaki akan dihidupi keluarga mempelai perempuan dan menjadi tanggungan mamaknya. 

Hamli menolak dengan tegas keistimewaan yang dipersembahkan kepadanya, sebagai lelaki sudah seharusya memberi nafkah lahir dan batin kepada istrinya, sekaligus harus memuliakan istri sebaik baiknya.

Sikap Hamli yang berseberangan  menuai kritik tajam dari kaum kerabat, dengan lapang dada pula Hamli menerima segala konsekwensinya bahkan siap dikucilkan dan tidak dianggap. Bahkan Marah Hamli rela tercerabut dari akarnya karena memang dengan nyata diketahui bahwa perlakuan yang  tidak adil terhadap kaum perempuan harus diputus mata rantainya.

Setelah merantau di Jawa Marah Hamli bertemu dengan  Din Wati perempuan berdarah Sunda yang tinggal di Bogor Jawa barat, Penentangan perkawinan dua suku ini juga datang dari keluarga mempelai perempuan, namun sikap Din Wati (calon istri) tak ubahnya seperti sikap Hamli, berdua mereka pasang badan menghadapai benturan benturan dahsyat dengan sabar dan hati lapang.

Segala macam cobaan dapat dihalau sampai badai itu berlalu dengan sendirinya, termasuk ketika datang seorang utusan keluarga Hamli yang hendak menggunakan ilmu hitam untuk mengguna guna Din Wati agar stress. 
Cobaan tak serta merta reda bahkan setelah Hamli resmi menikahi Din Wati upaya perjodohan Hamli dengan perempuan sesuku tak lantas berhenti.

Dari pihak mamak dari garis keluarga Hamli memperkenankan anak perempuannya dijadikan istri kedua meskipun hanya dengan pernikahan sesaat setelah itu dijatuhkan talak, tujuan semula agar Hamli masih disebut patuh dengan adat.

Hamli tetaplah lelaki yang menjunjung harkat perempuan, keinginan keluarga sanggup dipenuhi dengan syarat semua kondisi yang akan dialami pihak perempuan dibicarakan diawal pernikahan, jangan sampai gagasan ini hanya untuk keuntungan pihak lelaki semata sementara pihak perempuan tidak diberitahu, syarat berat ini tentu tak bisa dijalankan. Secara logika tidak ada keluarga yang mau anak perempuan diperlakukan seenaknya akhirnya ide ini lenyap begitu saja.

Sampai akhirnya upaya nekad datang dari keluarga besar Hamli dengan cara menikahkan diam diam di belakang Hamli dengan perempuan sesuku, perkawinan di Padang saat itu membolehkan sang lelaki diwakilkan lelaki lain atau sebilah keris.

Pada saat Hamli sudah menjadi pegawai pertanian di Blitar tiba tiba datang surat kawat agar menjemput istrinya di stasiun, kabar menegjutkan ini membuat Din Wati berniat kembali pulang ke Bogor. 

Sikap Hamli sangat jelas bahwa dia tak mengamini, dibalaslah telegram itu dengan menegaskan bahwa tak pernah ada perkawinan atas dirinya dengan perempuan selain dengan Din Wati istri syahnya.

Lelaki Baik untuk Perempuan Baik
            Sebagai lulusan Sekolah tinggi Pertanian akhirnya Hamli mengabdi sebagai Pegawai pemerintahan, tugas yang diemban menuntutnya untuk berpindah pindah tempat, dari Sumbawa, Blitar, Cirebon, Jakarta, Semarang semua dijalani dengan tabah. 

Din Wati sebagai istri sangat setia mendampingi dan mensupport suami kapanpun dimanapun dan kemanapun, yang unik adalah ketika Hamli menghadap kepala jawatan hendak dipindahkan ke Payakumbuh Sumatra barat dengan tegas dia menolak dan memilih melepaskan pekerjaan, pindah ke kota tersebut tak memungkinkan bisa mengajak serta anak istrinya.

Din Wati seolah tak peduli dengan garis kebangsawanan yang mengalir dalam tubuhnya, perempuan lembut dan hebat ini menerima sang suami apa adanya, bahkan ketika masa sulit dia mau berjualan demi mencukupkan kebutuhan. 

Demi menghemat pengeluaran rumah tangga Din Wati pula yang mengusulkan mengirim persembahan kue bolu besar yang lezat cita rasanya kepada Sultan Sumbawa yang hendak mengawinkan putrinya,  tanpa di nyana persembahannya dibalas dengan seserahan yang lebih banyak karena Sultan merasa suka hati dengan persembahan lezat dari Hamli dan keluarga.
    
          Layaknya perjalanan biduk rumah tangga yang tak lepas dari naik turunya badai kehidupan, justru ketidakenakkan ketidakenakkan inilah yang menguatkan hubungan Hamli dengan Din wati, perjalanan panjang sebagai suami istri yang semula ditentang keluarga besar Hamli akhirnya dapat dibuktikan mampu bertahan sampai usia emas perkawinan.

Novel Klasik
Nama besar Marah Rusli telah menjadi legenda dalam dunia satra di Indonesia, karya fenomenal Siti Nurbaya tak akan bisa dihapus dalam sejarah perjalanan kesusastraan.  Bahkan HB Yasin menyematkan gelar sebagai Bapak Roman Modern.

Saya sebagai generasi yang lahir jauh setelah sastrawan ini meninggal cukup terkagum kagum dengan karya besar beliau, bahasa yang tertulis dalam novel setebal lebih dari 500 halaman ini membuka cakrawala tentang keindahan kosa kata pada masa itu. Pemilihan bahasa yang “nyastra” tersebar rata di setiap halaman dan cukup menanamkan banyak perbendaharaan kalimat pada pikiran saya
            
Namun saya cukup mengeryitkan dahi pada bagian Siti Anjani ibunda Hamli yang baru dikabari tentang pernikahan Hamli dan Din Wati sekitar tiga tahun setelah ijab kabul, saya tidak paham kenapa sang ibu tak diberitahu sebelum pernikahan dilangsungkan apapun alasannya, kemudian perihal penyakit pilu yang mendera Hamli sebelum bertemu dengan jodohnya yaitu Din Wati berhasil membuat penasaran saya tak berkesudahan, sejenis apakah penyakit pilu itu?

 Secara keseluruhan Novel ini benar benar memberi cita rasa yang berbeda dengan sebagian besar novel yang hadir di pasaran, sangat rekomended bagi generasi masa kini agar menjadi “nutrisi” yang menyehatkan batin. Sambil berharap semoga ada “harta karun” dari sastrawan besar lainnya yang (siapa tahu) masih disimpan oleh anak keturunannya. Bravo Marah Rusli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon komentar disampaikan dalam bahasa yang sopan, tanpa menyinggung SARA